Kayla
Saya pulang bersama Kak Kelvin dan Kak Agin. Awalnya, mereka bersikeras untuk mengajak saya tidak pulang ke rumah. Kak Kelvin takut saya mendapat amukan dari Ayah saat pulang nanti. Tapi saya menolak. Kalau saya melakukan itu, sudah jelas Ayah akan tetap memaksa saya untuk menuruti kemauannya. Lagipula, walau Ayah sangat egois dan terkadang temperamental, Ayah tidak pernah memukul anak-anaknya.
Begitu saya pulang, bukan Ayah atau Bunda yang saya temui. Melainkan Saka yang sedang duduk di teras—entah sejak kapan. Saya mengerjap berkali-kali saat menatap Saka. Terakhir bertemu dengan Saka, ia terlihat kecewa dengan saya di perpustakaan hari itu. Setelah itu, Saka tidak pernah menyapa saya. Makanya, melihat Saka tiba-tiba ada di sini, membuat saya terkejut.
"Kak," Saka malah menyapa Kak Kelvin yang juga turun dari mobil bersama Kak Agin.
"Eh, Saka." balas Kak Kelvin sembari menyambut uluran tangan Saka. "Santai aja. Gue masuk dulu ya,"
Saka hanya mengangguk dan melihat punggung Kak Kelvin yang menjauhi kami bersama Kak Agin. Setelah memastikan mereka masuk ke dalam rumah, Saka menoleh kepada saya dan atensinya jatuh pada kaki saya yang pincang.
"Kaki kamu kenapa?"
"Keseleo."
Saka tidak mengatakan apapun lagi. Ia tiba-tiba menarik saya dengan pelan dan membuat saya duduk di atas kursi. Saka kemudian berjongkok dan tangannya menyentuh pergelangan kaki saya.
"Enggak memar." katanya pelan tanpa melihat saya. "Sakit kalau jalan?"
Saya hanya mengangguk ketika ia mendongakkan wajahnya kepada saya. Seketika, kami berdua sama-sama terdiam. Saka terdengar menghembuskan napasnya pelan lalu duduk di kursi kosong sebelah saya.
"Kayla..."
"Iya, Saka..."
"Bener-bener enggak ada kesempatan buat aku ya?"
Saya terperangah mendengar pertanyaan itu. Saka tidak lagi melihat saya. Pandangannya lurus ke arah depan—entah apa yang ia lihat.
"Saka..." Saya memanggil saya dan membuat lelaki itu menoleh ke arah saya. "Aku bingung..."
"Bingung kenapa?"
"Aku bingung hati aku maunya apa, Saka. Aku enggak ngerti aku kenapa."
"Kamu suka orang lain?"
Atas pertanyaan Saka itu, saya langsung menoleh ke arahnya dan ternyata, entah sejak kapan, Saka sudah menatap saya nanar. Pandangannya seolah sedang mendesak sebuah jawaban.
Hanya ada satu wajah yang terbayang di benak saya. Iya. Wajah Kak Arga—ketika ia masih senang melempar senyuman kepada saya. Saya kemudian mengalihkan wajah dan menunduk menatap lantai. Saya tahu, harusnya saya tidak perlu repot-repot menyimpan perasaan saya untuk Kak Arga. Toh, Kak Arga tidak akan menyukai saya.
Tapi hati ini bebal. Hati ini terus memaksa untuk jatuh hati kepadanya. Entah saya yang bodoh atau hanya hati ini yang tidak mengerti bagaimana untuk menyerah kepada seseorang yang sudah memiliki perempuan lain.
"Arga Anggara, kan?"
Lagi. Saya tertegun menatap Saka. Saka tersenyum tipis. Senyuman itu menggambarkan bahwa ia tahu tebakannya benar.
"Aku udah ngerasa." kata Saka lagi, ikut menatap taman Bunda yang asri di depan kami. "Waktu kita enggak sengaja ketemu dulu. Aku udah ngerasa... Kamu sama dia, ada apa-apanya."
Saya terdiam. Bayu bahkan tidak tahu soal perjodohan ini. Bayu memang tidak pernah mau tahu apa yang terjadi di sekitar rumahnya—sekalipun saya adalah tetangganya. Saya juga tidak begitu nyaman menceritakan itu kepada Bayu. Tapi kepada Saka, entahlah, saya ingin dia tahu. Saya ingin bercerita kepada Saka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Will He
General Fiction[Completed] Kata orang, cinta pertama itu hanya omong kosong. Tapi kalau kata saya, kita enggak tahu kalau enggak dicoba, kan? Begitu pula dengan cerita cinta pertama saya tentangnya, tentang seseorang bernama Arga Anggara yang dengan penuh harap s...