38

961 155 22
                                    

Kayla

Hari ini, ketika bangun di pagi hari, saya langsung beradu pandang dengan Ayah. Saya langsung tersentak dan memanggil dokter. Bunda yang sedang membeli sarapan di bawah bersama Kak Kalina, langsung berlari ke kamar ketika saya menghubungi.

Melihat Ayah yang sudah bangun setelah dua hari tidak sadarkan diri, saya benar-benar merasa lega dan tidak berhenti menitikkan air mata.

"Kok kamu nangis sih?" gumam Ayah. Sangat pelan. Namun masih dapat saya dengar dengan jelas.

Saya menggenggam tangan Ayah kuat-kuat dan menatapnya. "Aku bakalan nurut sama Ayah. Bener-bener nurut, Yah... Ayah mau aku ngapain? Aku ikutin... Dan kalau Ayah memaksa soal aku dan Kak Arga pun, mungkin aku bisa—"

"Kayla..." Ayah kemudian memotong ucapan saya. Ia mengusap air mata saya. "Maafin Ayah, udah keras sama Kayla. Sama Kelvin, sama Kalina juga. Maaf ya?"

Kak Kelvin yang sejak tadi diam sambil bersandar di dinding, kemudian keluar dari kamar. Sedangkan Kak Kalina yang berada di sisi sebelah kiri Ayah hanya mengusap lengan Ayah sambil melempar senyum. Dan saya, kembali menangis lagi sejadinya.

Saya memeluk Ayah erat. Saya tahu, semua orang akan kembali kepada-Nya. Tapi saya tidak mau... Keluarga saya ada yang pergi secepat itu.

-ooo-

Ayah sudah agak mendingan. Sudah mau makan walaupun masih sangat lemah. Kak Kelvin juga tidak begitu banyak bicara. Saya yakin Kak Kelvin masih merasa bersalah karena sudah membuat Ayah jatuh hari itu dan berakhir tidak sadarkan diri selama dua hari. Padahal Ayah juga sudah bilang bahwa itu bukan salah Kak Kelvin. Tapi sepertinya Kak Kelvin tidak tahu bagaimana cara untuk menenangkan hatinya sendiri. Apalagi saat ini Kak Agin masih berada di Malang karena sedang dinas kerja keluar kota.

Saya kemudian memberikan waktu kepada Kak Kalina, Mas Farhan, dan juga Kak Kelvin untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama Ayah. Apalagi ada Nana di dalam sana. Setidaknya, Ayah bisa semakin ceria dengan kehadiran cucunya.

Saya turun ke lantai dasar. Awalnya, ingin membeli minuman di bawah. Ketika saya selangkah lagi sampai di tempatnya, saya malah bertemu dengan Kak Arga dan kedua orang tuanya. Kami terdiam untuk beberapa saat—saya dan Kak Arga.

"Eh, Kayla." Tante Rita kemudian menyadari presensi saya. Ia langsung menghampiri. "Ayah udah sadar ya?"

"Udah, Tante. Lagi ketawa-ketawa tuh sekarang. Ada cucunya."

Tante Rita menghela napas lega. "Baguslah kalau begitu. Kamu udah makan belum? Tante bawain makanan nih."

"Makasih, Tante. Nanti Kayla makan di atas ya?"

Tante Rita tersenyum dan mengusap lengan saya. Saya kemudian menoleh kepada Om Pandu dan menyalami tangannya.

"Maaf ya. Om baru sempat jengukin." ujarnya setelah saya melepaskan tangannya.

"Enggak apa kok, Om. Om pasti sibuk juga."

"Kamu mau kemana, Kay?" Saya sedikit terenyuh saat tiba-tiba Kak Arga bersuara. Saya pikir, ia tidak akan mau mengajak saya berbicara di depan orang tuanya.

"Ini. Mau beli minum ke sini. Bosen minum air mineral terus." Saya menyengir.

"Papa sama Mama duluan aja. Biar aku bareng Kayla nanti." kata Kak Arga lagi dan membuat saya cukup kaget. Kenapa tiba-tiba?

Om Pandu kemudian melirik Kak Arga. Tapi tatapannya terlihat berbeda—dan membuat saya bertanya-tanya dengan maksud pandangannya itu. Om Pandu kemudian berdeham dan mengajak Tante Rita masuk ke dalam lift, menyisakan saya dan Kak Arga di sana.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang