20

1K 165 17
                                    

Kayla

"Kay, sebelum gue ke Yogya, kita harus nonton gigs-nya The Devil's Talk!"

Saya memandangi secarik kertas tiket yang Dina berikan kepada saya secara gratis. Tiket gigs-nya The Devil's Talk. Saya mengalihkan atensi saya dari kertas itu dan menatap Kak Kelvin yang sedang menikmati lagu dari radio. Kak Kelvin terlihat begitu menikmati musiknya dan saya yakin dia pasti tidak tahu kalau di acara yang saya datangi ini, ada Kak Arga.

Kak Arga.

Saya sudah lama sekali tidak bertemu dengan Kak Arga. Sudah lima bulan berlalu sejak terakhir saya bertemu dengan Kak Arga. Bahkan ketika Bunda bertemu dengan Tante Rita karena urusan arisan dan mengajak saya, saya tidak pernah menemui Kak Arga di rumahnya.

Beberapa hari kemudian, Bunda lalu cerita kalau Kak Arga semakin sering bertengkar dengan Om Pandu dan berakhir menginap di studio atau rumah salah satu temannya. Sepertinya, walaupun masalah perjodohan sudah selesai, Om Pandu tetap tidak menyetujui pilihan Kak Arga tentang hobi dan juga perempuan yang ia kasihi.

"Kok ngelamun sih?" suara Kak Kelvin menyudahi lamunan saya. "Kan ada Fiersa Besari. Kamu datang buat nonton dia kan? Kamu suka sama lagu-lagunya."

Saya hanya menyengir canggung. Kalau Kak Kelvin tahu, sepertinya ia akan memutar balik mobil dan mengantar saya pulang.

"Kak Kelvin mau jalan sama Kak Agin ya?"

"Iya." balas Kak Kelvin. "Orang tuanya Agin lagi di sini. Jadi, mau makan bareng."

"Wuih, udah ketemu orang tuanya aja nih."

Kak Kelvin tergelak dan senyuman lebar terpatri di wajahnya. Saya ikut tersenyum karenanya. Sesenang itu, saat kedua orang tuamu menyetujui hubungan yang telah terjalin sekian lama. Mendadak, saya teringat Kak Arga dan Kak Vina.

Bohong kalau selama lima bulan tak bertemu, saya tidak memikirkan Kak Arga. Saya selalu menanti kabarnya, walaupun hanya bermodal sosial media. Kak Arga bukan tipe orang yang sering sekali memposting di sosial media. Karena itu, saya tidak begitu tahu kabarnya. Tapi saat ia muncul, saya tidak bisa senang lebih dari itu.

Terkadang, saya ingin menanyakan kabarnya. Tapi saya terlalu takut, terlebih semenjak kejadian Kak Vina menampar saya. Walau sudah lima bulan berlalu, saya tidak bisa melupakan itu.

"Dek, udah sampai nih,"

Saya mendongakkan wajah dan dengan cepat menyimpan kembali tiket yang saya pegang ke dalam tas. Ternyata, tempatnya sudah ramai.

"Dina mana? Bayu sama Saka ikut juga kan?"

Saya mengangguk, "Tapi Bayu tadi dari rumah Saka. Makanya enggak bisa nebeng."

Kak Kelvin menatap saya dengan penuh arti lalu tersenyum miring, karena mengerti maksud perkataan saya.

"Ya udah. Coba kamu telepon dulu Dina deh di sini. Ramai banget, Dek. Kalau kamu hilang gimana?"

"Astaga, Kak Kelvin, aku kan bukan anak kecil."

"Ya bagi aku kamu tetap aja anak kecil."

Saya mendengus kesal, tetapi Kak Kelvin malah tertawa. Saya segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan menghubungi Dina.

"Dina? Lo di mana? Gue udah nyampe nih. Oke deh." Saya segera menutup ponsel dan mengedarkan pandangan, berusaha menemukan stand-stand yang Dina maksud dari dalam mobil.

"Gimana?"

"Katanya lagi di stand-stand gitu. Sama Saka dan Bayu."

Kak Kelvin mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya udah. Hati-hati."

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang