53 : Melintas

1.9K 334 136
                                    

"Omongannya si Helena gak usah dimasukin ke hati."

"Terlanjur."

Gue duduk di atas tempat tidur, dan Mas Lino pun menyusul saat dia selesai menyisir rambutnya.

"Dia kalo masih sekolah gak mungkin berani ngomong gitu di depan aku."

"Bukan soal masih sekolah atau lulus, tapi emang kondisinya aja yang mengharuskan hubungan kita diketahui sama si Helena."

Mas Lino menarik bahu gue dan membiarkan gue bersandar di dadanya. "Karena udah banyak yang tau, bukannya sekarang jadi tenang?"

"Ya iya sih... cumaㅡ"

"Kamu bukan sampah, Lin."

Kemudian gue menengadahkan kepala menatap Mas Lino. Tatapannya begitu sendu, dan raut wajahnya begitu khawatir.

"Helena yang sampah karena gak bisa memilih kalimat yang tepat." Sebelah tangan Mas Lino menangkup pipi gue. "Kamu memang bukan manusia yang bersih, tapi setidaknya kamu bukan manusia bermulut kotor. Bagiku, sampai sekarang kamu adalah manusia yang hebat. Jangan dengerin kalimat-kalimat yang keluar dari mulut busuk mereka, kamu jauh lebih hebat dibandingkan mereka. Mereka bilang begitu, karena mereka belum pernah merasakan bagaimana rasanya berada di posisi kamu."

Air mata gue keluar dengan tanpa permisi, "Begitu...?"

"Iya. Dan sekarang..." Tangan Mas Lino mengusap perut gue. "...ada kehidupan baru di sini. Kamu jangan mudah kelelahan, entah itu lelah yang berasal dari tubuh kamu, ataupun lelah yang berasal dari hati kamu. Jangan stress, jangan memikirkan hal-hal yang jelek. Aku bilang begini bukan karena hanya khawatir pada anak kita, tapi sama kamu juga. Aku mau kalian berdua sama-sama sehat, dan kita menjadi keluarga yang bahagia. Bisa?"

Lalu gue menganggukkan kepala dan beralih memeluk tubuh Mas Lino yang sangat menenangkan. Entah untuk ke berapa kalinya, gue merasa menjadi perempuan yang sangat beruntung karena bisa mempunyai suami sepengertian seperti Mas Lino.

***

Gue mendapat kabar dari Hanif bahwa Mamanya Harris kembali dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Karena setelah kejadian meninggalnya Harris pada dua bulan yang lalu, kondisi Mamanya Harris semakin hari semakin gak bisa dikontrol. Kejiwaan beliau kembali parah seperti dulu, karena sekarang orang-orang yang Mama Harris sayangi telah pergi meninggalkan beliau seorang diri.

Jujur, gue kasian banget sama Mamanya Harris. Sekarang beliau hidup sebatangkara. Dan jika gue kembali mengingat Harris, maka gue pun gak bisa mengontrol diri gue sendiri. Gue gak mau hari itu terulang lagi, hari di mana gue gak mempedulikan soal kesehatan gue dan janin yang sedang gue kandung.

Sekarang semuanya udah beres. Gak ada lagi yang mencuri separuh ingatan gue disaat gue udah memiliki Mas Lino dan anak gue.

Untuk Harris, semoga kamu tenang di alam sana.

Hari ini gue dan Mas Lino sedang berada di sebuah mal. Rencananya kita berdua mau beli perlengkapan bayi karena mengingat kandungan gue dalam dua minggu lagi akan menginjak usia enam bulan.

Perut gue pun udah lumayan besar, bahkan celana dan baju yang sering gue pakai udah gak muat. Kaki gue juga mulai membengkak, sehingga kalau dipake buat jalan kaki suka mudah kecapekan.

"Ini baju yang warna pink bagus deh, Yang." Mas Lino mengambil sebuah baju bayi berwarna pink dan menunjukkannya ke gue.

"Tapi kan kita belum tau anak kita cewek atau cowok. Kalau beli yang ini, terus yang keluarnya cowok gimana?"

Mas Lino tiba-tiba ketawa, "Iya juga ya? Gak kepikiran ke situ, karena saking pengennya punya anak gadis."

Kali ini giliran gue yang ketawa, kemudian beralih mengambil salah satu baju bayi berwana biru muda.

MTMH 2 | Lee Know [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang