Pantai dan Dering Telepon

1.1K 140 2
                                    

Bismillah,

Alfi melirik arlojinya, sudah hampir jam 4 sore. Sebentar lagi Naira pasti akan keluar dari klinik. Jarum jam bergerak ke angka 4.15, satu persatu mobil mulai meninggalkan parkiran, hanya mobil Alfi dan mobil Nai yang tersisa. Alfi melihat seorang petugas keamanan yang sepertinya bersiap menutup klinik. Petugas itu mulai menyalakan lampu di lobby, kemudian mengeluarkan segerumbul kunci.

Alfi keluar dari mobilnya. Lelaki itu mengenakan kacamata hitam, sembari melangkah ke arah lobby. Kemudian dia berbicara dengan si petugas keamanan, beberapa kali menunjuk mobil Nai yang parkir tidak jauh dari mobilnya.

Tak lama kemudian, seorang perempuan bergaun merah melangkah tergesa. Naira baru saja akan pulang, perempuan itu menjinjing sebuah hand bag merk ternama. Wajahnya yang redup menyiratkan kelelahan. Dia langsung menghentikan langkahnya ketika melihat Alfi berdiri di loby. Suaminya itu menatapnya dari balik kacamata.

"Mau ngapain?" tanya Nai, ketus dan tidak bersahabat.

"Jemput kamu,"

"Aku bisa pulang sendiri." Naira melipat kedua lengannya, dia melirik petugas keamanan yang berdiri di dekatnya.

"Aku mau nganterin kamu, sini kunci mobilnya." Nada bicara Alfi tegas dan datar, tangannya terulur.

"Buat apa?!"

"Kunci mobil kamu, Nai," desak Alfi lagi. Nai terpaksa menyerahkan kunci mobilnya. Wajahnya merengut, jelas sekali dia kesal karena Alfi tiba-tiba muncul. Apalagi yang akan dibicarakan suaminya ini, pikir Nai.

Alfi mendekati petugas keamanan, kemudian menyerahkan kunci mobil Nai. "Mas, saya titip mobilnya dokter Nai, ya, besok sore saya ambil,"

"Baik, dok, aman kok, dok."

Alfi berterima kasih dan setelahnya menyeret lengan Nai untuk ikut dengannya. Perempuan itu tidak bisa menolak, karena petugas keamanan itu memperhatikan mereka. Dengan langkah tersaruk-saruk Naira mengikuti Alfi. Memasuki mobil suaminya yang beraroma strawaberry itu. Aroma itu dibenci Nai, dia sempat protes kenapa parfum mobil Alfi tidak pernah diganti. Bagi Nai aroma ini terlalu manis, dia lebih suka parfum dengan aroma yang lebih tajam.

"Mas, apa-apaan sih ini?!"

"Aku sudah bilang, aku jemput kamu," jawab Alfi tenang. Lelaki itu sudah mengemudikan mobilnya. Jalanan memang macet karena hari ini Jumat, tapi Alfi sama sekali tidak terlihat kesal.

"Aku nggak suka ya diseret-seret kaya tadi, bisa nggak bersikap yang halus. Minta baik-baik, apa mau Mas Alfi,"

"Emang sebelumnya aku nggak minta baik-baik ya?! Kesabaranku ada batasnya, Nai,"

"Sama, kesabaranku juga." Naira bersedekap, wajahnya memerah. Rasanya akhir-akhir ini Alfi menguji sarafnya. Nai merasa komunikasinya dengan Alfi macet, setiap pembicaraan mereka akan berujung pertengkaran. Dan sekarang ini, lelaki ini 'menculiknya'. Entah kemana mereka pergi, karena sekarang mobil Alfi sudah memasuki gerbang tol.

"Kita mau kemana sih, Mas? sumpah ini nggak lucu,"

"Aku emang nggak punya niat ngelucu, aku cuma mau kita bicara, Nai. Dan aku terpaksa harus melakukan ini, aku ingin nyelesaikan masalah kita,"

Nai tidak menjawab lagi, dia sudah sangat kesal karena tindakan spontan Alfi. Selama ini Nai sangat terencana, dia tidak suka kejutan. Hal yang mendadak sama sekali bukan gayanya. Apa yang dilakukan Alfi hari ini keluar dari kebiasaan, lelaki itu pun biasanya tidak impulsif.

Sepanjang jalan tol yang seakan tidak berakhir itu, Nai dan Alfi sama-sama diam. Sampai Nai tertidur, dan ketika dia terbangun mobil Alfi sudah diparkir, entah dimana.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang