52 Kembali

1.6K 181 23
                                    

Bismillah,

Yoga menangkis pukulan lelaki berkaos hitam itu. Dengan kakinya yang gemetar dia menendang, membalas si lelaki yang dengan gesit menghindar. Napas lelaki muda itu memburu. Campuran antara takut dan marah bergejolak. Dia mengarahkan pukulannya ke lelaki lain yang datang.

Lalu, sebuah benda menghantam kepalanya. Lelaki itu roboh. Bersamaan dengan rasa perih di perutnya.

Dia melihat darah. Menggenang mengerikan. Tangannya menekan perutnya yang sobek. Yoga menggelepar. Tersengal dengan sisa napas terakhirnya.

Dengan pandangannya yang mulai kabur, dia masih menangkap kelebatan seseorang. Wajah lelaki itu dikenalnya. Senyumnya yang sabar masih terpatri di benak Yoga. Lelaki itu mengulurkan tangannya. Menarik Yoga yang berkubang genangan darahnya sendiri.

Kening Yoga berkerut. Dia kenal lelaki yang menolongnya ini. Itu Alfi. Kakak sepupu yang dikhianatinya. Kenapa Alfi menolongnya?

Bukankah dulu Alfi dengan tegas mengatakan tidak akan memaafkan Yoga? Kenapa sekarang tangannya terulur, dan senyumnya terasa tulus. Yoga terisak, menggumamkan kata maaf.

"Mas Alfi, maafkan aku. Maaf," ulangnya.

Lelaki itu malah melepas tangannya dari Yoga. Membiarkan lelaki itu kembali berkubang dalam darah.

"Mas Alfi, maaf!"

"Tapi inget, Ga. Kalo suatu hari kamu datang dan minta maaf, aku nggak akan pernah memaafkan kamu dan Naira! Nggak akan!"

Kalimat yang diucapkan Alfi 3 tahun yang lalu bergaung di telinga Yoga. Lelaki ringkih itu terkesiap. Dia ingat dengan jelas kalimat itu. Dia tidak akan pernah mendapat maaf Alfi.

"Mas, tolong maafkan aku. Maafkan aku dan Naira, Mas. Aku menyesal." Yoga mengiba. Bahkan air matanya meleleh, membasahi pipinya yang tirus.

Alfi menggeleng. Lalu berjalan pergi. Tidak peduli Yoga meraung memanggil namanya.

Suara nyaring alarm membangungkan Yoga. Jam digital menunjukkan angka tiga. Lelaki berkaus putih itu tersentak. Mimpi yang baru saja hadir sudah menghilang. Keringat membasahi tubuhnya yang sekarang kurus, dan wajahnya basah dengan air mata. Lalu sakit kepala menghantamnya. Sakit yang sudah membuatnya tak berdaya selama tiga tahun ini.

Lelaki itu mencoba duduk. Mengerang memegangi kepalanya yang serasa dihantam seperti tiga tahun yang lalu. Tangannya yang gemetar mencoba meraih botol pil di nakas. Tapi hal mudah itu tidak sanggup dilakukannya.

Sakit kepala bercampur tremor membuatnya lemah. Sungguh menyedihkan. Dia yang dulu sehat, sukses dan mampu menarik perhatian perempuan, sekarang bahkan tidak mampu menggerakkan tangannya.

"Argh!" Yoga memegangi kepalanya. Botol pil itu sekarang menggelinding. Isinya berserakan.

"Na- Naira!" cicitnya. Walaupun sedikit pesimis Naira bisa mendengarnya, lelaki itu memanggil lagi.

Yoga menyerah, sakit kepalanya terlalu parah. Dia terkulai, membiarkan sakit itu menguasainya. Matanya tidak mampu terbuka. Untunglah, detik berikutnya dia mendengar pintu kamarnya dibuka. Kelebatan Naira yang bergerak perlahan mengisi penglihatannya yang kabur.

Dua buah pil dijejalkan ke mulutnya. Dan beberapa menit kemudian sakit kepala itu perlahan reda. Yoga membuka mata, dan menemukan Naira menatapnya dengan sinar mata redup. Seperti biasa. Yoga bisa melihat sinar mata kasihan di mata Naira. Dia tidak sanggup melihat itu. Dia tidak mau dikasihani. Itu menyebalkan.

"Tolong jangan liat aku seperti itu, Nai," pintanya.

Naira membuang muka. Mereka lalu diam, sibuk dengan berbagai pikiran yang merangsek ke dalam kepala mereka.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang