Masih Istriku

2.9K 207 6
                                    

Bismillah,

Pertanyaan Alfi menggantung di udara malam yang pengap itu. tak ada yang bersuara, kelihatannya baik Nai maupun Yoga sedang sibuk merancang jawaban. Sedangkan Tante Widati terlihat bertanya-tanya, apa yang dilakukan Yoga bersama kakak iparnya? Memang dia dan Alfi hanya sepupu, tapi Nai tetaplah kakak ipar bagi Yoga.

"Mas, aku tadi cuma bantuin Nai. Mobilnya mogok,"

Alfi hanya mengangguk, masih dengan wajah mengeras. Diliriknya Nai yang masih menyembunyikan wajahnya.

"Naira, gimana kalo ... kita masuk dulu. Kamu juga, Al. Kita bicara di dalam?" Tante Widati menawarkan, sesungguhnya perempuan itu pun gelisah. Dia mencium ada yang tidak beres, tapi masih berusaha menenangkan situasi.

"Bo-boleh, Tante,"

"Ayo, Al, kita bicara di dalam. Di teras dingin, Tante bikinkan kopi ya," Tante Widati membujuk lagi. Perempuan itu memaksakan sebuah senyum.

Alfi mengangguk kaku, paling tidak dia menghormati ajakan Tante Widati. Perempuan itu adalah adik ibunya dan sebagai orang yang lebih tua patut dihormati. Alfi kemudian melangkah mengikuti Tante Widati, dengan Naira mengekor di belakangnya. Sedangkan Yoga masih mematung di teras.

"Mas Alfi, ini kopinya. Tehnya buat Mbak Nai." Amanda meletakkan dua cangkir di meja ruang tamu. Gadis berjilbab itu ikut merasakan ketegangan di antara Alfi, Yoga dan Naira. Setelah meletakkan cangkir-cangkir itu, dia bergegas pergi.

Alfi dan Naira duduk di kursi tamu panjang, saling berjauhan. Keduanya saling membuang pandang. Naira membiarkan rambut panjangnya menjuntai, menutupi satu matanya sehingga Alfi tidak bisa melihat wajahnya yang masih pucat.

"Manda, Mas Yogamu mana?" Suara Tante Widati memecahkan suasana senyap.

Amanda muncul dari arah ruang makan, wajahnya kaku. Gadis itu melangkah cepat ke teras, dan tak lama kemudian kembali dengan Yoga berjalan di belakangnya.

"Ga, ngapain di luar? Sini, duduk," perintah Tante Widati. Yoga hanya mengangguk, kelihatannya dia tidak punya pilihan.

"Mobil kamu ... mogok dimana?" Alfi masih mengarahkan matanya pada vas bunga besar yang diletakkan tepat di samping rak, sama sekali tidak menengok ke arah Naira.

"Di daerah jalan bunga-bunga, Mas, kebetulan deket kantorku. Jadi aku bisa cepet nyamperin Nai," Yoga yang menjawab.

"Oh," balas Alfi. "Kenapa kamu nggak nelepon orang bengkel seperti biasa? Lagian daerah situ masih deket klinik kamu kan? Kamu bisa minta tolong sekuriti, atau OB yang biasa kamu suruh-suruh untuk bantuin,"

"Klinik sudah sepi tadi, Mas," lagi-lagi suara Yoga yang terdengar. Nai menggigit bibirnya, terlihat semakin gelisah.

"Itu kata Nai, maksudku, Nai tadi bilang kalo klinik sudah sepi," Yoga mengulang jawabannya.

Alfi diam, tidak lagi bertanya. Lelaki itu beberapa kali menghirup udara, kelihatan berusaha menahan diri untuk tidak meledak.

"Mobil Nai tadi udah aku masukin bengkel, Mas. Kebetulan temenku yang kerja di bengkel bisa aku telepon dan aku mintain tolong, jadi sekalian aja. Biar Mas Alfi nggak repot,"

"Baguslah, dan bagus juga kamu sudah mewakili Nai menjawab semua pertanyaan aku."

Alfi memiringkan kepalanya, menatap Yoga dengan sarkastis. Suasana tidak enak itu langsung terasa. Tante Widati terlihat cemas, dan kedua tangan Nai saling meremas semakin kuat. Rasanya akan lebih baik jika Alfi mengamuk dan memaki-makinya, daripada mereka terjebak dalam kesunyian yang begitu bising ini.

"Aku dari tadi ngajak ngomong istriku, tapi kayanya kamu udah pinter nanggepin, Ga,"

"Maksudku bukan gitu, Mas, aku cuma ... "

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang