24 Worry

1.5K 164 32
                                    

Bismillah,

Alfi melangkah cepat di lorong menuju ruang kuliah. Siang ini dia harus mengajar mata kuliah Basic Medical Science 2A untuk mahasiswa fakultas kedokteran semester 1. Dia sedang terburu-buru karena kuliah akan dimulai dalam 10 menit, dan terlambat bukan hal yang disukainya. Beberapa kali lelaki itu melirik arlojinya sambil bergegas.

Hari ini kegiatan Alfi cukup padat dan fokusnya sering terpecah. Tumpukan pekerjaan dan masalah di rumah sakit, memang berat. Tapi yang lebih mengganggunya adalah Ifa. Alfi menghela napas teringat pertemuannya dengan Ifa dan Abi minggu lalu. Pertemuan mereka membuat Alfi berpikir untuk melangkah lebih cepat. Dia sudah menunggu Ifa bertahun-tahun, dan kehilangan perempuan itu lagi bukanlah bayangan yang menyenangkan.

Alfi memasuki ruang kuliah yang sudah dipenuhi mahasiswa. Dengan kepala masih dipenuhi kekhawatiran tentang Ifa dia mulai mengajar. Setelah menjelaskan materi tentang struktur dan fungsi organ tubuh selama 50 menit, Alfi memberikan tugas. Setelah memberikan instruksi tentang cara mengerjakan tugas dan perangkat online yang bisa digunakan mahasiswanya, Alfi duduk dan membuka gawainya. Dia harus mengecek beberapa pesan yang mungkin dikirim rekan kerjanya di rumah sakit.

Jari Alfi menggulir barisan pesan, dan tersenyum kecut melihat riwayat chattingnya dengan Ifa sudah lewat tiga hari yang lalu. Dia tahu, mestinya dia lebih sering menghubungi Ifa. Tidak mungkin berharap Ifa yang akan menghubunginya duluan. Alfi yakin perempuan sekalem Ifa tidak akan berani melakukan itu.

Alfi berdecak kesal teringat percakapannya dengan Danil. Dia bercerita tentang pertemuannya dengan Ifa dan Abi di klinik psikolog anak. Dan Danil menceramahinya habis-habisan.

"Kamu tuh dokter, tapi oon banget urusan beginian, Al. Kalo kamu lambat deketin Ifa, bisa-bisa si Abi itu yang menang," cecar Danil.

"Bukannya mau lambat, Nil, aku belum punya-"

"Cara itu banyak, Al, tinggal kamunya aja berani nggak?!" Wajah Danil terlihat gusar. Dia hanya tidak mau Alfi gagal lagi meraih cinta Ifa. Pengkhianatan dan perceraian dengan Naira sangat melukai Alfi, Danil sangat tahu hal itu. Dan menurut Danil, Ifa adalah obat terbaik untuk patah hati yang diderita sahabatnya.

"Aku ... bukan nggak berani, Nil, tapi harus pasti dulu perasaan Ifa gimana ke aku. Iya kalo dia juga suka sama aku, kalo enggak gimana?!"

"Terus aja gitu, kebanyakan pertimbangan kamu, Al. Lama-lama kamu bener-bener dilibas sama Abi. Laki-laki itu kudu siap ditolak, itu resiko, Al. Sekarang pilihannya menikung atau ditikung, ngerti?!" Danil menekan telunjuknya ke pundak Alfi.

"Maksudnya?!" Kening Alfi berkerut, sambil menatap Danil yang berdiri sangat dekat di depannya.

"Kamu yang nikung Abi, atau ... kamu mau ditikung Abi?!"

Skak mat! Alfi tidak punya jawaban dan mengakui kebenaran ucapan Danil.

"Jangan sampe kalah langkah dari Naira, dia aja belum habis masa iddah udah move on. Nah kamu?! Nggak punya masa iddah aja jalan di tempat,"

Danil menatap Alfi sambil mendesah kesal. Lalu, dia berjalan keluar ruangan, meninggalkan Alfi yang termenung sendiri di ruangan yang sudah sepi.

Suara seorang mahasiswa membuyarkan lamunan Alfi.

"Ijin bertanya, dok, mengenai portofolio tadi. Boleh kami mengopi contoh templatenya? Lalu untuk pengumpulan dalam bentuk soft file ya, dok?" tanya seorang mahasiswa berkemeja putih.

"Oke, saya share templatenya di google class. Portofolio dikumpulkan tengah semester, dalam bentuk soft file. Masing-masing anak juga wajib memberikan ulasan tentang 1 artikel yang sudah dibaca, sesuai topik yang tadi saya jelaskan," terang Alfi.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang