60 Into Pieces

1.8K 189 40
                                    

Bismillah,

5 bulan kemudian ...

Naira berjalan lemah menuju mobilnya. Tubuhnya yang kurus dan wajahnya yang kuyu, tergambar jelas di kaca jendela mobilnya.

Perempuan itu sejenak tertegun menatap bayangan dirinya yang menyedihkan. Dirabanya pipinya. Dia bisa merasakan tulang rahangnya yang terlihat menonjol. Sejak pertemuan dengan Alfi dan keluarganya dia tidak pernah lagi merasa tenang. Kalimat Alfi sangat mengganggunya. Membuatnya jatuh ke jurang yang seperti tidak berdasar.

Semua itu memalukan untuk Naira. Hati dan cinta Alfi tidak pernah diberikan untuknya. Menyedihkan. Ternyata dia tidak dicintai seperti yang selama ini diangankannya.

Naira mulai menginjak pedal gas. Beberapa hari ini dia mendatangi klub malam sepulang kerja. Mabuk sampai tengah malam, dan bangun ketika matahari sudah bersinar penuh. Dia tidak sanggup menghadapi hidupnya yang menyedihkan.

Kilasan berbagai kejadian dalam hidupnya sering menyesaki kepalanya. Membuatnya merasa semakin tidak berharga. Nasihat ayah dan dua kakaknya terngiang, tapi Naira langsung menepisnya. Kepalanya berdenyut.

Lalu, sosok Yoga muncul di benaknya. Lelaki itu sekarang bersikap sangat formal. Naira beberapa kali menangkap sorot mata lelaki itu. Dia tidak tahu kenapa Yoga seperti menyembunyikan sesuatu. Naira tidak repot-repot menanyakan apa yang disembunyikan suaminya. Baginya itu tidak penting.

Tapi beberapa kali dia sempat memperhatikan suaminya. Yoga semakin pandai mengendalikan tremornya. Dan lelaki itu sering tersenyum sambil memperhatikan ponselnya. Naira mendesah gusar, lalu menepis pemikirannya tentang Yoga.

Mobil Naira mulai memasuki area perumahan tempat tinggalnya. Hari ini dia memutuskan pulang karena tubuhnya sudah menjerit lelah. Belum lagi emosi yang seakan selalu memenuhi dirinya. Naira butuh istirahat, dan mungkin menelan zolpidem.

Dia susah tidur beberapa bulan ini. Setiap saat Naira mencoba memejamkan mata, sosok Alfi yang mengatakan kalau selama ini hati dan cintanya bukan untuk Naira merangsek ke dalam otaknya. Kalimat pedas itu membuatnya menderita.

Naira menghembuskan napas lelah, lalu mulai menepikan mobilnya. Dia heran melihat ada mobil lain yang parkir, dan pintu pagar rumahnya terbuka. Jantung Naira tiba-tiba berdegup tidak teratur. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Dengan tergesa dia segera memasuki rumahnya, mendorong pintu utama yang setengah terbuka.

"Halo, Nai."

Naira memelotot. Perempuan dengan blus marun dan celana hitam itu menatapnya tanpa ekspresi.

"Nai ... ada yang mau aku bicarakan."

Ucapan Yoga mengalihkan tatapan Naira. Lelaki itu berdiri dengan susah payah. Satu tangan bertumpu di tongkatnya, dan tangan satunya merangkul seorang gadis cilik yang wajahnya persis dengannya.

Debaran di jantung Naira semakin menggila. Darahnya mengalir cepat. Tanpa penjelasan panjang lebar dia bisa menduga apa yang sedang terjadi.

"Duduk, Nai," kata Yoga lirih.

Naira menurut begitu saja. Dia tidak punya kekuatan untuk melawan. Diliriknya Jovanka yang memilih kursi terjauh darinya.

"Kamu masih inget Jovanka, kan?" tanya Yoga.

Naira mengunci rapat mulutnya. Gelombang emosi menerpanya lagi. Setelah Alfi memporak porandakan ego dan hatinya, sekarang giliran Yoga. kenapa dua lelaki yang masih terikat hubungan darah ini seperti mempermainkannya. Pikir Naira.

"Ini Vanny, Giavanny Mahardhika ... anak kami," desis Yoga.

Dua tangan Naira dilipat di depan dada. Dia tidak punya cara lain untuk mempertahankan dirinya yang rapuh. Apalagi gadis bernama Vanny itu sekarang menggelayut manja pada Yoga.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang