46 What's Next?

1.3K 164 17
                                    

Bismillah,

Malam setelah perkelahian

Yoga membuka pintu dengan kasar. Sudah tengah malam, dan dia berharap Mamanya dan Amanda sudah tidur.

Dengan amarah yang masih memuncak, lelaki itu memasuki kamarnya. Tubuhnya ngilu, belum lagi perih di wajah dan lututnya. Azwar ternyata tidak bisa dianggap enteng. Sepupunya itu memang sedikit lebih muda darinya, tapi bisa mengimbangi tenaga Yoga.

Yoga tahu dia seharusnya tidak langsung menyerang, karena dia salah perhitungan. Azwar tidak gentar dengan gertakannya. Justru Yoga lah yang tersudut.

Sambil meringis menahan sakit, Yoga membuka bajunya yang kotor. Lalu membasuh luka-lukanya dengan air. Dia memerlukan obat merah dan penghilang sakit, jadi harus keluar kamar. Setelah memakai kaos bersih, Yoga keluar. Dia berjingkat, takut membangungkan Widati atau adiknya.

Langkahnya mengarah ke ruang makan, tempat lemari obat tergantung. Dengan cekatan Yoga mengambil obat merah dan kapas. Lalu membuka kulkas, mengeluarkan tablet penghilang sakit. Lelaki itu siap berjalan kembali ke kamarnya, ketika lampu ruang makan menyala terang.

Widati memicingkan mata, menelisik wajah lebam putra sulungnya. "Kamu kenapa, Ga?"

Yoga memalingkan wajahnya. "Nggak papa, Ma. Tadi ... jatuh," kelitnya.

Kakinya bergerak lagi, menjauhi Widati yang masih mengawasi. Yoga sedikit salah tingkah, karena Mamanya menatapnya curiga. Tapi perempuan itu tidak mengatakan apa-apa. Dia mengambil air dari dispenser, lalu meraih ponselnya yang terus berbunyi karena notifikasi pesan.

Yoga buru-buru kembali ke kamarnya. Lalu menutup pintu rapat.

Sedangkan Widati, menatap ponselnya dengan mata membulat. Grup keluarga ramai dengan chat. Ucapan semoga cepat sembuh untuk Hasti memenuhi ruang obrolan. Widati bingung, ada apa dengan kakaknya? Dia seharian ini tidak mendapat kabar apa pun, walaupun perasaannya memang resah.

Jarinya yang gemetar membuka kontak di aplikasi ponselnya. Dia mencari nama Alfi, lalu dengan cepat mengirimkan pesan. Perempuan itu menunggu dengan gelisah. Dia tidak berani menelepon karena sudah tengah malam.

[Mama kena serangan jantung, Tante.]

Balasan Alfi datang beberapa menit kemudian. Satu baris pesan itu membuat jantung Widati berdetak tidak beraturan. Sejenak dia bingung harus melakukan apa. Ingin rasanya segera menengok kakaknya, memastikan kalau Hasti baik-baik saja.

Tapi perasaan ragu menyerangnya. Hasti tentunya tidak akan mau berbicara dengannya.

[Dirawat di rumah sakit mana?] Widati mengetik dengan jari gemetar.

[Di rumah sakit umum, Tante,] balas Alfi.

Widati tidak lagi bertanya. Kakinya gemetar, dia kalut. Di satu sisi mencemaskan kondisi kakaknya, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Yang lebih ditakutkannya, kondisi Hasti akan memburuk jika melihatnya.

"Ma, kok belum tidur?" Amanda ternyata sudah berdiri di ruang makan. Wajahnya juga muram, sedangkan tangannya menggenggam ponsel.

"Mama ... haus."

Amanda mengamati wajah Mamanya. "Mama kenapa?" tanyanya.

"Tante Hasti sakit, Nda. Sekarang dirawat di rumah sakit," terangnya.

Amanda terlihat salah tingkah. "Kak Azwar juga di rumah sakit, Ma," katanya lirih.

Widati langsung mendongak. "Kok bisa bareng?! Azwar sakit apa?"

Amanda menggeleng. "Dia nggak bilang, Ma. Cuma ngasi tau kalo Tante Hasti dirawat dan Kak Azwar juga lagi di IGD."

Kening Widati mengernyit. Entah kenapa dia tiba-tiba teringat wajah Yoga yang lebam di sana sini, dan ekspresi kesakitan anaknya. Widati bangkit dan berderap ke kamar Yoga. Tangannya yang gemetar mengetuk pintu kamar.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang