59 Bukan Untukmu

1.9K 183 9
                                    

Bismillah,

Yoga melangkah tertatih. Berjalan menuju ruang terapi dengan kakinya yang tidak sempurna. Lelaki itu berhenti, mendongak menatap mendung. Pohon tanjung yang cukup besar itu, rantingnya menunduk diterpa angin.

Musim penghujan mulai datang. Kelabunya ikut mewarnai hati Yoga.

Sudah beberapa hari dia resah memikirkan Naira. Sebenarnya sudah lama dia merasakan tidak lagi menemukan getar rasa pada istrinya. Tidak ada hal yang merekatkan mereka. Hanya rantai berat bernama pernikahan.

Lelaki itu berjalan lagi, semakin mendekati ruang terapi. Sebelum mulai terapi, dia harus berkonsultasi dengan dokter rehabilitasi medik yang menanganinya. Napas Yoga menghembus perlahan, dia tahu belum ada kemajuan apa pun. Tremornya masih sering kambuh.

Yoga tidak ingin menyerah, bukan karena Naira, tapi karena mertuanya yang begitu gigih menyemangati. Tapi, dia memerlukan alasan lain untuk terus melakukan terapi ini. Naira sudah bukan lagi alasannya. Egoisme perempuan itu membunuh cintanya perlahan.

Lelaki berkemeja flannel itu sekarang duduk di ruang tunggu, setelah perawat memintanya menunggu. Dengan enggan dia menyapukan pandangan ke sekelilingnya.

Pasien yang datang ke ruang terapi ini rata-rata sudah berusia 50 tahun lebih. Hanya dia yang masih berusia 30 tahunan. Yoga merasa ada yang mengiris hatinya. Ketika orang seusianya sedang menikmati hidup, dia malah kehilangan semuanya. Kenyataan itu menampar hatinya.  Lelaki itu memilih menunduk, memperhatikan petak-petak lantai yang tidak menarik. Berharap pemandangan yang tidak menarik itu mengenyahkan kesedihannya.

"Mama, nanti boleh beli es krim?" Suara seorang gadis kecil menghampiri telinga Yoga.

"Kamu masih batuk, kan, nanti aja kalo udah sembuh."

Yoga mengangkat kepalanya dengan cepat. Suara perempuan itu, membangkitkan memorinya.

"Masih lama sembuhnya, Mama. Vanny mau es krim, boleh ya?" Gadis kecil itu merajuk lagi. Suaranya lucu dan terdengar menggemaskan.

Jantung Yoga berdegup cepat. Keringat mulai membasahi keningnya. Dia tidak berani menengok ke belakang. Ke arah gadis kecil dan Ibunya itu sedang duduk.

"Jangan es krim ya, kue aja gimana?" rayu si perempuan.

Tangan Yoga mulai gemetar. Itu memang suaranya. Dia sangat yakin perempuan itu memang dia. Yoga mencoba menenangkan dirinya, tapi gagal. Dia merogoh kantong celananya dengan susah payah, mencari obat untuk tremornya.

Tangannya yang sehat berhasil menarik botol obat itu. Dengan tergesa dia membuka tutupnya. Dan ... pil-pil itu berhamburan. Menggelinding di lantai keramik putih ruang tunggu.

Yoga mulai panik. Keringatnya bercucuran, matanya memelotot melihat pilnya yang berharga bertebaran di lantai.

"Mama, aku bantu Om itu ya," ucap gadis kecil itu. Dan sebelum Mamanya menjawab, gadis berbaju biru laut itu sudah berlarian ke sana kemari, memungut pil berwarna biru.  Kemudian dia berjalan menghampiri Yoga.

"Om, ini obatnya," katanya. Gadis itu tiba-tiba saja sudah berdiri tepat di depan Yoga. Rambutnya yang lurus dibiarkan tergerai. Sepasang matanya bersinar lembut, menatap Yoga dengan bibir tersenyum.

Tenggorokan Yoga tercekat. Ada sepasang mata yang mirip dengan matanya, juga hidung kecil mancung dan bibir tipis itu. Tangan Yoga yang gemetar terangkat, berusaha mengambil pil di tangan gadis itu. Tapi, dia malah asyik mengamati gadis yang sekarang tersenyum itu.

Lelaki itu mematung. Menelisik senyum polos tanpa dosa. Sepasang mata yang sekarang menatapnya, adalah matanya. Segala sesuatu yang ada pada gadis itu, adalah dirinya.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang