44 Malam yang Kacau

1.4K 160 26
                                    

Bismillah,

Sabtu siang itu sunyi, tapi ruang keluarga di rumah Hasti ramai dengan suara tawa dan celotehan anak kecil. Fatih asyik bermain dengan seorang bocah yang lebih besar darinya. Sedangkan Sarah, Ifa dan Hasti duduk di sofa sambil melipat kaki. Mereka mengobrol seru, dan sesekali mengudap camilan di meja.

"Fa, bagi dong resep puding Regalnya," kata Sarah.

"Boleh, Mbak. Saya juga baru pertama kali nyoba bikin, eh ternyata sukses."

"Sukses banget ini, enak dan nggak terlalu manis. Bagus buat anak-anak yang nggak boleh kebanyakan gula," sambung Sarah lagi.

"Pantesan Alfi sekarang keliatan hepi, mukanya bersinar-sinar gimana gitu. Ifa pinter masak, dan manjain Alfi," goda Hasti.

Ifa tidak menjawab hanya tersipu. Mereka melanjutkan lagi obrolan seru dengan topik khas perempuan itu.

Sudah seminggu Alfi dan Ifa tinggal di rumah Hasti. Rumah baru yang dibeli Alfi sedang dicat dan ditata ulang. Dan Hasti meminta Alfi dan Ifa untuk menemaninya sementara menunggu rumah itu siap. Perempuan 60 tahunan itu terlihat senang dengan adanya Alfi, Ifa dan Fatih. Rumah besarnya tidak lagi senyap.

"Ngomong-ngomong Azwar ke mana sih, Ma? Ini kan sabtu, masak dia ke rumah sakit?" Tanya Sarah.

"Katanya giliran jaga IGD. Nggak tau itu adikmu, sekarang jarang di rumah. Pulang mesti hampir tengah malam. Kalo diajak bicara jawabnya pendek, kaya nggak fokus," kata Hasti sambil menghembuskan napas.

"Makanya cepet disuruh nikah aja, biar pulang cepet. Lagian Mama bisa ajak Azwar dan istrinya tinggal di sini kan. Biar nggak sepi," sahut Sarah. Tangannya merangkul Hasti yang terlihat ragu.

"Dia udah pernah bilang mau ngelamar, tapi nggak jelas siapa yang mau dilamar. Mama cuma bilang, engga mau menantu kaya Naira. Percuma cantik, kaya, dokter, kalo akhlaknya nol besar."

Sarah mengernyitkan kening. Mendengar Azwar ingin melamar seseorang pastinya kejutan besar. Dia mengenal adik bungsunya itu. Predikat playboy, player dan entah apa lagi sudah melekat pada Azwar. Adiknya itu memang ganteng dan pandai bergaul, tidak heran kalau banyak perempuan yang tertarik.

"Azwar mau ngelamar cewek?! Serius, Ma? Kok dia nggak pernah curhat sama aku ya?" heran Sarah.

"Jangankan sama kamu, sama Mama aja sekarang main rahasia-rahasiaan. Nggak tau kalo sama Alfi," kata Mama.

Sarah merasa Azwar tidak seperti biasanya. Karakter mereka bertiga memang berbeda, tapi ketiganya dekat dan tidak biasa menyimpan rahasia. Apalagi hubungan keluarga mereka hangat dan harmonis. Hasti dan almarhum suaminya mendidik ketiga anaknya dengan baik. 

Kalau Azwar sekarang terkesan menjauh dan tertutup seperti kata Hasti, itu sangat aneh untuk Sarah.

"Ntar kalo dia dateng ditanyain aja lagi, Ma. Siapa tau kalo ada aku sama Alfi dia bisa lebih terbuka," saran Sarah.

Hasti hanya mengangkat bahu. Dia kelihatan pesimis mengenai Azwar. Obrolan yang tadinya seru dan ringan sontak berhenti. Ruang tengah itu sepi.

Sarah mengambil ponselnya. Dia memutuskan untuk menelepon Azwar. Kecanggungan ini harus dihentikan. Pikir Sarah.

"Fa, makan dong. Ini udah lewat duhur, loh."

Alfi tiba-tiba muncul, dengan Syarif mengekorinya. Lelaki itu kelihatannya baru pulang dari masjid.

Perhatian tiga perempuan itu teralihkan. Mereka berbalik, menatap Alfi dan Syarif hampir bersamaan.

"Biasanya makan ambil sendiri, sekarang jadi manja banget kamu, Al," ledek Mama.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang