11. Kamar 722

1.9K 188 12
                                    

Bismillah,

"Selamat malam, Pak, bisa dibantu?" sapa seorang resepsionis pada Alfi.

"Saya ada rapat dengan dokter Kusuma, dari rumah sakit umum,"

"Oh, di ruang Ivory 1, Pak. Silahkan lewat lift di sebelah kanan." Resepsionis berseragam abu-abu itu mengarakan Alfi ke lift. Alfi mengangguk dan langsung berlalu.

Sebenarnya dia tidak terlalu fokus pada rapat yang sebentar lagi akan dihadirinya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan tentang mengapa mobil Naira juga ada di hotel ini. Alfi sempat berpikir Nai juga mengikuti rapat, tapi rapat ini untuk staff rumah sakit umum. Dan Naira tidak bekerja di rumah sakit umum. Pikiran lain muncul di benak Alfi, mungkin Naira ada acara dengan klinik tempatnya bekerja. Ini memang sudah menjelang akhir tahun, biasanya rapat untuk persiapan rapat kerja mulai diselenggarakan.

"Hey, Al," panggil dokter Kusuma begitu Alfi memasuki ruangan. Alfi berjalan mendekat dan langsung terlibat pembicaraan serius. Sesaat lelaki itu melupakan pikirannya yang tadinya dipenuhi oleh Naira.

"Tahun depan kamu yang gantiin aku, Al,"

"Gantiin gimana, Dok?" Alfi terlihat bingung, sedangkan dokter Kusuma tersenyum sambil menepuk bahunya.

"Kamu jadi kepala bagian IRNA 4, aku mau lanjut kuliah dulu. Beasiswaku lolos,"

"Wah selamat ya, dok," kata Alfi sambi menjabat tangan Kusuma.

"Kamu kapan lanjut kuliah?"

"Ya dua tahun lagi lah, eh btw kok aku yang ditunjuk sih? Apa nggak Danil aja, atau siapa ya?" Alfi mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

"Kamu yang paling pantes Al, secara kepangkatan dan prestasi kamu juga sudah layak," Kusuma menambahkan lagi, sambil menepuk pundak Alfi.

"Oh ya btw, kamu ntar nginep di sini?" tanya Kusuma. Kening Alfi berkerut, sejenak dia berpikir mungkin Kusuma mengetahui masalah rumah tangganya dengan Nai, sehingga harus bertanya seperti itu.

"Maksud kamu?"

"Waktu aku nyampe hotel tadi, aku ketemu Nai. Bukan ketemu sih, lebih tepatnya aku liat Nai di resepsionis. Makanya aku pikir kamu dan Nai nginep di sini, rapat sekalian bulan madu gitu," Kusuma terkekeh. Sebaliknya, Alfi merasakan jantungnya berdetak keras. Dia teringat mobil Nai yang diparkir di basement tadi.

Apa Nai ada keperluan di sini?

Pikir Alfi. Dia mulai tidak tenang, kepalanya berusaha menyambung semua kepingan yang ditemuinya. Mobil Nai, Nai di hotel ini dan pertemuan-pertemuan Nai dengan Yoga.

"Al, serius banget nanggepinnya, aku cuma bercanda kali," respon Kusuma membuyarkan lamunan Alfi.

"Eh, nggak mikirin itu kok, aku malah masih kepikiran jadi kepala IRNA 4 tadi, Dok," kelit Alfi.

"Mikirin bulan madu sama Nai, juga gapapa, toh dia istrimu. Siapa tau kali ini gol kan?" Kusuma mengedipkan mata menggoda Alfi.

Lelaki berambut lurus itu menepuk bahu Alfi dan berbisik, "Cepet bikin anak sama Nai," katanya sebelum berlalu.

Pembicaraan itu terputus karena rapat sudah dimulai. Alfi memilih tempat duduk di antara Danil dan Kusuma, berusaha mengalihkan pikirannya ke materi rapat. Sayangnya pikirannya selalu kembali pada mobil Nai yang dilihatnya di basement. Alfi tidak bisa menahan diri untuk tidak berprasangka. Kepalanya bahkan mulai dipenuhi dengan kejadian buruk yang bisa saja terjadi. Rapat yang berlangsung cukup lama itu mulai terasa menyiksa Alfi, karena dia sulit memfokuskan pikirannya.

Satu jam kemudian rapat dijeda. Konsumsi untuk rehat kopi disajikan. Alfi berdiri dan meregangkan otot-ototnya. Rasanya hari ini begitu melelahkan karena berbagai hal, khususnya pertengkarannya dengan Naira dan bayang-bayang menyeramkan yang selalu muncul di pikirannya. Lelaki itu melangkah ke luar ruang rapat setelah berpamitan pada Danil. Dia perlu ke toilet, berwudu lalu menunaikan salat isya. Jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat 20 menit.

Ketika keluar ruangan, Alfi menemukan Kusuma sedang bersama istri dan dua anaknya. Sejenak Alfi berhenti, termenung menatap kebahagiaan Kusuma yang sedang menimang anak bungsunya. Bayi berumur setahun itu tertawa lebar dan mengalungkan lengan gemuknya ke leher Kusuma. Alfi merasa ada sesuatu yang teriris di dalam sana, sudah 2 tahun dia menikah dan memimpikan rumahnya ramai dengan tawa anak-anak.

Sayangnya, Nai tidak kunjung hamil dan Alfi sempat mengira dia mandul karena usianya yang sudah melewati 30. Nyatanya, dia sehat dan Nai tidak hamil karena memang tidak menginginkan anak. Dan Alfi lagi-lagi harus menerima kenyataan pahit. Kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Naira ternyata hanya berlangsung sebentar. Bayangan pil KB yang kemarin ditemukannya lagi-lagi meremukkan hatinya. Alfi mendesah kecewa.

Lelaki itu berjalan menjauhi Kusuma dan keluarganya. Dia tidak mau merasa lebih sakit lagi melihat pemandangan itu.

@@@

Alfi masih tepekur, menatap sajadah. Dia masih melafazkan dzikir sesudah salat, menenangkan hati dan mendinginkan kepalanya. Ketika menyadari jam sudah hampir menunjuk ke angka 20.40 lelaki itu memutuskan untuk beranjak. Dia masuk ke toilet lagi untuk mencuci wajahnya, lelaki itu menunduk di depan wastafel, ketika seseorang melewatinya. Alfi tidak melihatnya dengan jelas, hanya sekilas dari cermin di depannya.

Jantung Alfi berdegup. Dia mematikan kran air dengan cepat, lalu meraih tisu untuk mengeringkan wajah dan tangannya. Dengan langkah gemetar Alfi mengikuti langkah lelaki bersweater biru gelap itu. Dia hampir saja kehilangan jejak karena beberapa orang menghalanginya. Alfi membiarkan lelaki itu masuk ke lift dan mengecek di lantai berapa dia berhenti. Alfi yang sekarang mulai gelisah sudah melupakan rapat yang pasti sudah dimulai lagi. Saat ini tidak ada hal lain yang dipikirkannya selain memastikan dugaannya.

Dengan jantung yang berdegup semakin kencang Alfi memasuki lift, menekan angka yang sama dengan lelaki tadi. Dia berharap dengan resah semoga dia hanya salah lihat dan lelaki itu bukan seseorang yang dikenalnya. Tapi kepingan-kepingan yang tadi terserak mulai berkumpul lagi di kepalanya, mobil, kehadiran Nai dan sekarang ... orang ini.

Denting lift yang berhenti membuyarkan lamunan Alfi. Lelaki itu masih mematung sebentar, dia berpikir apa yang akan dilakukannya jika memang dugaannya benar. Mungkinkah ini kebetulan saja? Mungkin lelaki itu di sini untuk suatu urusan, pekerjaan atau bertemu klien. Mungkin saja yang dilihatnya di parkiran tadi bukan mobil Naira, dan Kusuma salah lihat. Bisa saja itu hanya mobil yang mirip dengan milik Naira, dan yang dilihat Kusuma hanya seseorang yang mirip Nai.

Tapi kenapa semakin menolak semua dugaannya, Alfi semakin resah. Bahkan keringatnya mulai muncul. Alfi menyusuri lorong yang sepi itu, ini lantai 7 dan di lantai ini terletak kamar untuk menginap. Untuk apa lelaki itu ke sini? Pikir Alfi lagi. Ketika matanya menangkap kelebatan sweater biru itu, Alfi mempercepat langkahnya. Lelaki itu memencet bel di pintu bernomor 722. Alfi menyembunyikan tubuhnya di dekat pintu darurat. Menunggu lelaki bersweater biru itu masuk ke dalam kamar.

Tak lama pintu kamar 722 terbuka, seseorang membuka pintu dan membuat lelaki itu tersenyum. Alfi tidak dapat melihat siapa yang membuka pintu. Tapi tangannya semakin gemetar. Dia takut dengan kenyataan yang mungkin nanti ditemukannya. Alfi membuang ragunya, dengan langkah lebar dia berjalan ke arah pintu yang tertutup itu. tangannya mengepal kuat sebelum dia memutuskan mengetuk.

Lalu ... dia mengetuk dengan perasaan campur aduk. Menunggu sedetik, dua detik, tiga detik. Alfi samar-samar mendengar langkah kaki. Seseorang di balik pintu itu kelihatannya mengatakan sesuatu. Alfi menunggu dengan perasaan luar biasa gelisah.

"Ini pasti room service, Nai," kata seorang lelaki.

Pintu kamar terbuka, dan lelaki itu melongokkan kepala dengan sebagian tubuhnya. Dia tersenyum sedetik lalu ...

"Mas Alfi?!" Senyum Yoga menghilang dan matanya membelalak.

Alfi berdiri menjulang dengan rahang mengeras. Tidak perlu bersusah payah menebak siapa yang sedang bersama Yoga. Ekspresi terkejut lelaki itu sudah menjelaskan semuanya.

update selanjutnya insya Allah jumat yaa
happy reading ☺️☺️

20 Januari 2021

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang