Tiramisu

1.9K 184 9
                                    

Bismillah,

Sudah 15 menit Alfi mondar mandir di The Harvest, entah sudah berapa kali dia duduk, lalu berdiri. Begitu terus sampai pelayan di belakang etalase berbisik-bisik penuh ingin tahu. Secangkir cappucino yang dipesannya, belum tersentuh. Bahkan kopi yang dicampur susu dan sejumput bubuk cokelat itu sudah dingin.

Sekarang Alfi berdiri menatap barisan cake artifisial yang dipajang di dalam etalase. Kedua tangannya dimasukkan dalam saku, sejenak dia hanya berdiri, mematung dengan tatapan kosong.

"Sudah siap memesan, Pak?" sapa si pelayan ramah. Alfi menggeleng, lalu berjalan kembali ke mejanya. Sejenak dia menatap cappucinonya, lalu melamun.

Dia di The Harvest karena mengikuti saran Mamanya semalam. Mengajak Nai berbicara, berdamai dan membawakan cake yang disukai istrinya itu. Sayangnya ketika sudah memasuki The Harvest, Alfi mulai bingung. Bukan masalah memilih cake, dia bisa dengan mudah mengambil cake apa pun dan membawanya pada Nai. Dia bingung bagaimana akan membuka pembicaraan dengan Nai.

Alfi memang sengaja tidak bercerita pada Mamanya tentang pertengkarannya dengan Nai semalam. Atau tentang Nai yang muncul di depan matanya bersama Yoga. Tidak! Itu terlalu beresiko, bukan masalah apakah Mama akan menilai Nai sebagai istri yang tidak baik. Sama sekali bukan itu, Alfi hanya tidak mau Mamanya jadi ikut memikirkan keruwetan ini.

Lalu, apa jadinya hubungan baik dengan Tante Widati. Ini bisa menjadi rumit. Terlepas dari apakah Nai dan Yoga memang memiliki hubungan spesial. Alfi tidak ingin terburu-buru menyimpulkan. Dia sudah cukup dewasa untuk mulai melihat dengan kepala jernih.

"Al, masih lama?" Danil muncul, sedikit heran melihat Alfi masih duduk dan belum ada sekotak cake di mejanya.

"Bentar lagi,"

"Nunggu apaan sih? Masak cakenya masih dipanggang? Apa kita cari toko lain aja?" Danil menghempaskan tubuhnya ke kursi. Tangannya melambai pada pelayan, dia ikut memesan cappucino.

"Aku bingung, Nil," keluh Alfi. akhirnya cappucino itu disesapnya sedikit.

"Bingung kenapa? Antara milih cupcake atau cake lain gitu?! Ndeso kamu,"

"Bukan itu, Nil. Ini bukan masalah milih cake, aku bingung gimana memulai ngomong sama Nai. Kamu tahu sendiri dia kaya apa, kan. Semalem aja kita udah mentok kaya gitu,"

Danil menghembuskan napasnya, kalau sudah menyangkut Naira sarannya tidak berlaku. Naira itu tipe yang unik, kepalanya lebih keras dari aspal hot mix.

"Coba mulai dengan ... ini, Al,"

"Apaan?"

"Mulai dengan 'Assalamualaikum, Nai, apa kabar?'" Danil terbahak, dan sukses mendapat pelototan dari Alfi.

"Ini serius dodol, kita lagi ngomongin masalah rumah tanggaku. Ini kaya hidup mati buat aku."

"Serius kamu bisa mati kalo nggak sama Nai? Bukannya masih ada cinta yang itu,"

Kali ini Alfi melempar biskuit yang sengaja diletakkan di tatakan cangkir. Danil malah semakin terbahak.

"Sejak nikah aku udah nggak pernah lagi kontakan sama dia, Nil. Aku udah janji untuk ngasi hatiku cuma sama Nai,"

"Kamu sih terlalu serius, Al. mestinya jangan buru-buru janji, liat dulu si Nai itu kaya apa. Pantes nggak dapetin janji setia kamu?! Jujur ya, Al, aku dari awal pesimis sama hubungan kamu dan Nai,"

"Nil, aku tuh ngajak kamu buat ngasi aku semangat, motivasi. Bukan malah bikin aku down gini,"

Danil lagi-lagi terbahak, laki-laki berlesung pipit itu akhirnya menyerah. Dia tidak tahu harus memberi Alfi saran apa. Ketika secangkir cappucino pesanannya datang, dia menyibukkan diri dengan minuman berbahan kopi itu. Membiarkan Alfi lagi-lagi terjebak lamunan.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang