10. Bukti

1.3K 159 3
                                    

Bismillah,

Alfi memarkir mobilnya di depan rumahnya. Lelaki itu belum beranjak dari balik kemudi, masih memindai suasana rumahnya bersama Nai. Sudah sebulan dia meninggalkan rumah ini. Hari ini dia sengaja pulang, selain ingin mengambil beberapa barangnya, dia juga berharap bisa bertemu Nai. Mungkin berbicara lagi, dengan kepala dingin. Kejadian ketika dia bertemu Nai dan Yoga sudah lama berlalu, walaupun Alfi belum lupa, tapi ada keinginan untuk memperbaiki pernikahannya.

Rumahnya terlihat sepi, sudah menjelang petang tapi mobil Nai belum terlihat. Alfi memutuskan turun dari mobil dan melangkah memasuki rumahnya. Dia mengeluarkan kunci cadangan dan mulai membuka gembok. Lelaki itu masuk lewat pintu samping, langsung ke ruang makan. matanya mengamati sekeliling. Ruang makan itu sedikit berantakan, Alfi tiba-tiba teringat kenangan yang dilaluinya di ruangan itu.

Di awal pernikahan betapa Nai sangat memanjakannya dengan perhatian dan cinta. Di ruang makan yang menyambung dengan dapur, istrinya itu sering memasak. Masakan kesukaan Alfi, atau resep baru yang dipelajarinya dari Mamanya. Alfi tahu betul Nai bukan tipe perempuan yang suka berlama-lama di dapur. Istrinya itu terlihat canggung, tapi usaha keras Nai saat itu membuat Alfi luluh.

Dia mulai mencintai Nai, membalas perhatian perempuan itu. bahkan menyingkirkan sepenuhnya bayangan seseorang yang dicintainya. Seorang perempuan dengan wajah teduh yang berhasil mengambil hatinya. Alfi tidak lagi dibayangi cinta lama, dia berkomitmen penuh pada pernikahannya dengan Naira.

Alfi menuju dapur, memasak air dan menyeduh kopi. Tiba-tiba dia merindukan keriuhan di dapur ini. Keriuhan yang diciptakan Nai dan dirinya. Alfi tersenyum mengingat itu, lalu pertanyaan besar muncul di kepalanya. Apakah hubungannnya dengan Nai akan kembali seperti dulu? jujur dalam benak Alfi tidak pernah ada perceraian, dia ingin rumah tangga yang utuh. Sampai maut memisahkan.

Alfi menghela napas lelah, lalu menghirup kopinya. Samar-samar deru mobil Nai terdengar. Alfi merasakan jantungnya berdebar resah. Bagaimana reaksi Nai ketika melihatnya di sini?

Nai masuk dari pintu samping, dia langsung berhenti. Matanya bersinar redup melihat kehadiran Alfi. mereka saling menatap beberapa detik, sampai Nai memutuskan membuang muka. Perempuan itu bersedekap dan mendengkus kesal. Ekspresi wajahnya merengut, menyiratkan dia siap berkonfrontasi.

"Apa kabar, Nai?" sapa Alfi.

"Baik,"

"Kamu ... mau teh?"

"Aku bisa bikin sendiri," sentak Nai.  Alfi mengangguk kaku.

"Ada yang harus kita bicarakan," sambung Alfi.

"Sekarang?"

"Ya, sekarang," Alfi menjawab datar.

"Aku capek, baru pulang kerja. Nggak bisa ditunda?" Nai terlihat kesal.

"Ditunda sampai kapan? Sampai kapan kita mau begini terus?"

"Ya sampai Mas Alfi menyadari semua kesalahan Mas, dan menarik semua tuduhan Mas sama aku dan Yoga,"

"Tuduhan aku?" Alfi mengatupkan rahangnya.

"Aku sudah tahu Mas Alfi mengira aku dan Yoga ada hubungan, aku nggak mau dituduh-tuduh terus, disalahin terus," Nai menggerutu. Dia bangkit dan membuat teh. Alfi memilih diam, hanya memandangi gerak gerik istrinya yang masih merengut.

Naira mengangkat cangkir tehnya, hendak berlalu dari dapur.

"Nai, duduk," pinta Alfi. Perempuan itu berhenti melangkah, berbalik dan menatap Alfi dengan nanar.

"Ada apa lagi sih?! Aku sudah bilang aku nggak mau bicara sekarang!"

"Sampai kapan kamu akan menghindar terus? Kamu nggak mau bicara karena kamu bersalah, iya kan?!"

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang