8 Mereka Lagi ...

1.2K 148 4
                                        

Bismillah,

"Mas, Mas Alfi, dengerin dulu." Naira mengejar Alfi yang sudah berjalan cukup jauh. Perempuan itu sedikit terlambat karena masih menjawab telepon Yoga. Dan sekarang dia menyesal, menyesal karena masih menjawab pertanyaan Yoga dan karena membiarkan Alfi kecewa. Dia tahu seharusnya tidak meladeni Yoga lagi, tapi perasaan senang karena Yoga mengkhawatirkannya juga tidak bisa ditolak Nai.

"Mas Alfi!" Naira mulai terengah, Alfi mengacuhkannya. Lelaki itu bahkan tidak menoleh.

Naira berhasil meraih lengan suaminya. memaksanya berhenti berjalan. Tidak hanya itu, Nai memaksa Alfi menatapnya. Laki-laki itu terpaksa berhenti, wajahnya sudah tidak lagi cerah seperti tadi. Kecewa membuatnya muram. Bahkan matahari yang tadinya bersinar terik, tiba-tiba tertutup mendung. Angin pantai terasa lebih menggigit sekarang.

"Mas, aku nggak minta Yoga nelepon. Sumpah, aku nggak tau kenapa dia nyariin aku."

"Oh ya?! Mungkin kamu udah biasa ngabarin dia, jadi ketika kamu menghilang semalaman, dia merasa perlu cemas dan nyariin kamu. Manis banget ya?! Aku jadi penasaran, hubungan kamu sama Yoga apa ya?!" Alfi menarik tangannya yang digenggam Naira. Lelaki itu mengatupkan rahangnya. Pertanyaan yang tadi dilontarkan Yoga terngiang lagi, membuat telinganya memerah.

"Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Yoga, Mas,"

"Semoga aja memang begitu, Nai,"

Alfi berbalik, meninggalkan Naira yang masih tertegun. Lelaki berkaus putih itu geram, sehingga tanpa sadar menghentakkan kakinya keras-keras. Entah ini sudah usahanya yang ke berapa untuk berdamai dengan Nai. Tapi lagi-lagi Yoga menggagalkannya. Alfi sempat berpikir mungkin dia dan Nai memang tidak berjodoh. Tapi dia segera menepis pemikiran itu.

Dia bukan laki-laki yang bisa dengan mudah menceraikan istrinya. Pernikahan bukan permainan sederhana, tidak bisa tiba-tiba menyerah tanpa berjuang. Ijab kabul adalah mitsaqan ghaliza, perjanjian yang agung. Bukankah kata itu juga disebut di dalam Al Quran, dan disejajarkan dengan perjanjian agung antara Allah swt dengan para Rasul ulul azmi.

Alfi berhenti berjalan. Titik titik hujan mulai jatuh, dia membiarkan air yang dingin itu menyentuhnya. Membasahi kaos putih yang dipakainya. Godaan untuk menyerah pada pernikahannya menyesaki dadanya.

Samar-samar lelaki itu teringat masa-masa awal pernikahannya dengan Naira. Betapa dia sangat kaku karena memang tidak ada cinta di hatinya pada Naira. Tetapi akhirnya Alfi kalah, karena perhatian dan cinta yang diberikan Nai saat itu begitu tulus. Perempuan manja itu bahkan belajar memasak gulai kambing kesukaan Alfi demi mengambil hatinya.

Flashback on

"Mas, coba cicipin nih," ucap Naira riang. Tangannya meletakkan semangkuk besar gulai kambing dengan kuah kuning dan aroma khas gulai.

Alfi masih menatap gerak gerik Nai. Perempuan itu sibuk mondar mandir dari dapur ke ruang makan, menyiapkan piring, sendok dan gelas berisi air minum. Rasanya tidak percaya, tapi semua itu membuat hati Alfi menghangat. Dia sudah lama membujang, belum pernah berhubungan serius dengan perempuan. Dan tiba-tiba dia menikahi Naira, perempuan yang menghujaninya dengan cinta dan perhatian.

Alfi saat itu teringat Ifa, tapi segera menghapus bayangan perempuan lembut itu. semua karena dia ingin berkomitmen penuh pada pernikahannya.

"Mas, kok bengong sih? Sini duduk, mau pake nasi apa nyoba gulainya aja?" tanya Nai, dia sedikit heran karena Alfi tidak menghampirinya. Dua bulan menikah, dan Alfi seperti menjaga jarak dengannya.

"Oh iya, sebentar," jawab Alfi, kemudian melangkah kaku, menghempaskan tubuhnya ke kursi makan.

"Nih, dicoba dulu." Nai mengulurkan semangkuk gulai kambing. Alfi menyendok kuahnya dan mencicipi sedikit. Matanya membola, dia menyendok lagi, kali ini lebih banyak.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang