27 Jalan Terbuka

1.1K 149 19
                                    

Bismillah,

"Saya ... mau melamar kamu, gimana, Fa?" ulang Alfi.

Ifa masih terperangah dengan tangan meremas gelas plastik. Jus jeruk tumpah di mejanya. Dia tidak menyangka akan secepat ini. Debaran jantung dan perasaan gugup setiap kali dia berdekatan dengan Alfi memang pertanda yang cukup jelas. Tapi Ifa tidak berani berharap banyak. Mereka memang janda dan duda, tapi Alfi dokter dengan karir cemerlang. Sedangkan Ifa merasa dirinya hanya guru PNS biasa, dengan hidup yang jauh dari kemewahan.

"Nggak boleh ya, Fa?"

Pertanyaan Alfi membuat Ifa tersadar. Dia melirik mejanya yang sudah dikotori oleh cairan jus. Dengan terburu tangannya meraih tissu dan mengelap tumpahan. Tingkahnya memang konyol, tapi Ifa bingung bagaimana mengendalikan kegugupannya.

"Fa," panggil Alfi, satu tangannya menghentikan tangan Ifa yang sedang sibuk membersihkan meja.

Ifa berjengit dan spontan menghentikan kegiatannya. "I-i-iya, Mas, maaf. Saya ... cuma kaget."

"Sorry kalo bikin kamu kaget. Jadi ... nggak boleh ya ngelamar kamu?"

"Mas Alfi ... bicara sama Ayah saja," balas Ifa dengan suara lirih. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan pipinya yang memerah.

"Apa?" Alfi mendengar kalimat Ifa, tapi masih memerlukan penegasan.

"Bicara sama Ayah, langsung sama beliau saja."

Sekarang Alfi tersenyum lebar. Sangat lega mendengar jawaban Ifa. Tadinya dia mengira perempuan itu akan langsung menolak atau menghindar untuk menjawab. Melihat Ifa yang tidak kunjung menjawab membuat jantung Alfi sempat mencelos. Tapi jawaban Ifa membuatnya lega.

"Kalo saya bicara sama beliau, artinya ... kamu juga punya perasaan yang sama dengan saya?" tanya Alfi lagi.

"Perasaan gimana ya, Mas?" tanya Ifa dengan konyol.

"Saya ... cinta sama kamu. Sejak pertama kita ketemu, dan saya nggak berani bilang karena saya pikir kamu udah menikah. Sudah lama saya ingin bilang kalo saya cinta kamu, Fa."

Ifa menunduk dan tersenyum. Hatinya berbunga-bunga mendengar pengakuan Alfi. Tapi, perempuan berwajah lembut itu bingung harus menjawab apa.

"Lho, Ifa? Lagi sama siap-"

Ifa mendongak dan menemukan Abi sedang menatap dia dan Alfi. Lelaki itu tidak ragu untuk menunjukkan ekspresi masamnya, sepertinya mengerti kalau kesempatan untuk mendekati Ifa semakin kecil.

Alfi memutar tubuhnya, karena Abi berdiri di belakangnya. Dia berusaha keras tersenyum pada Abi. Lelaki itu berdiri dan menjabat tangan Abi, menunjukkan bahwa dia tidak terganggu.

"Tante Ifa!" Bri sudah berlari dan menghempaskan tubuhnya di samping Ifa. Bocah itu tersenyum cerah menatap Ifa.

"Hey, Bri, habis jalan-jalan ya?" sapa Ifa.

Bri mengangguk, kemudian merapatkan tubuh mungilnya pada Ifa. "Bri suka pudingnya," katanya.

"Oh ya? Kapan-kapan Tante buatkan lagi ya."

Bri mengangguk, lalu melompat turun dari kursinya, berlari ke arah tempat cuci tangan. Abi mengikutinya dengan pandangan. Lalu, lelaki berbadan tegap itu menatap Alfi. "Boleh duduk di sini?" tanyanya ragu.

Alfi mengangguk tanpa ragu. "Boleh," katanya sambil melirik Ifa sekilas. Perempuan itu mengangkat bahu.

"Btw ada acara apa nih?" tanya Abi sesaat setelah duduk di samping Alfi.

"Nggak ada, cuma ngajak Fatih makan aja," jawab Alfi.

"Oh, aku pikir ada acara spesial. Ehem ... emang cuma berdua?" Abi tidak dapat menyembunyikan rasa penasaran.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang