3. 9. Toujours Prôche

857 119 12
                                    

L'episode Neuf
(Lepisod nef)

Minggu-minggu menjelang kepulangan Mas Faaiz dari satgas, dia jarang ada kabar. Mungkin memang sibuk sekali. Seperti biasa, aku hanya bisa berdoa untuknya.

Sebetulnya kalau boleh jujur, aku deg-degan antara senang, lega, antusias juga takut ketika dia pulang. Kenapa? Karena itu adalah waktu dimulainya kami mengurus berkas pengajuan.

Semakin mendekati hari H-nya dia pulang, semakin aku kencang menghafalkan apa yang perlu dihafalkan. Di sisi lain, kulihat Mbak Khanzana juga ikut gugup.

"Kenapa, Mbak? Senang ya ada yang mau pulang?" godaku.

Dengan gaya malu-malu dia hanya tersenyum dikulum.

"Gayaaa ... ada apa nih?" Kunaik-turunkan kedua alisku. "Kan, bikin curiga ... "

Dan jawaban dari senyuman Mbak Khanzana terjawab sebulan kemudian. Sebulan lebih sih tepatnya.

Jadi, ternyata enam minggu sebelum kepulangan mereka yang Satgas, Naqi diam-diam mengirimkan paket seperangkat seragam Persit. Ada kain, sepatu dan tas. Naqi juga sudah memperkenalkan diri kepada keluarga terutama orang tua Mbak Khanzana disela-sela waktunya yang sedikit meskipun by phone. Begitu pun Mbak Khanzana sudah beberapa kali ngobrol bersama orang tua dan keluarga Naqi. Begitu mereka pulang, Naqi mengajak Mbak Khanzana untuk menemui orang tua masing-masing.

Kini, sebulan setelah kepulangan mereka, aku dan Mas Faaiz berada di rumah orang tua Mbak Khanzana untuk menghadiri acara lamarannya dan Naqi. Putri juga ada bersama seorang polisi yang gigih mengejarnya hingga kata ya berhasil didapat.

"Selamat ya, semoga lancar sampai hari H," ucapku sambil memeluk seraya mencium kedua pipi Mbak Khanzana yang terus pamer gigi saking bahagianya.

Kami hanya berlima dengan abang polisi karena Putri sedang ke kamar mandi. Acara inti baru usai, saat ini adalah ramah tamah.

"Makasih, Mbak, buat doanya. Juga makasih sudah menyempatkan hadir padahal lagi pengajuan," balas Mbak Khanzana.

Aku terkekeh sambil melepaskan pelukanku. "Refreshing bentar. Otak ngebul."

"Otak siapa yang ngebul?" celetuk Putri yang baru nimbrung.

"Otakku," jawabku.

"Lah, tumben ada otaknya. Katanya anenchepaly*?" ejek Putri sadis.

Aku melotot padanya sedang Mbak Khanzana tertawa.

"Kenapa?" tanya Firman, sang abang polisi.

"Penyakit kelainan otak pada bayi tapi kita bertiga kadang suka mlesetin jadi orang gak punya otak alias oon," jawab Putri jail.

Mas Faaiz spontan mengusap kepalaku. Karena untuk pertama kalinya, aku syok, kaget dan canggung sampai sulit berkata-kata. Biasanya dia hanya terpaksa memegang pergelanganku saat menyeberang jalan atau menarik bahuku agar aku bergeser ke posisi aman dan itu teramat sangat jarang sekali.

Astagfirullah!

"Ehm, Mas, tangannya ... " ingatku dengan wajah memanas malu

"Eh, maaf." Mas Faaiz langsung menarik tangannya. Niat yang tadinya untuk menghiburku malah berdampak lain.

Tentu saja para penonton bersorak. Tontonan gratis!

"Sudahlah, hiburan di tengah pengajuan," kata Putri asal.

Kan yang pengajuan aku!

"Oh ya, gimana? Lancar kan?" tanya Mbak Khanzana penasaran. Akibat sama-sama sibuk, kami nggak sempat bertukar kabar.

Aku menghela napas dalam.

"Nyaris menyerah," Mas Faaiz menunjukku yang ada di sampingnya.

Aku cemberut. "Pejabatnya nggak ada di tempat terus. Ini belum tahu kapan bisa ditemui. Sedih," ceritaku setengah mengeluh, setengah ingin menangis.

"Semangaaat!" seru Putri dan Mbak Khanzana serempak sembari mengepalkan tangannya ke atas. Naqi dan Firman pun turut mengepalkan tangan ke atas menyemangatiku.

Aku jadi makin terharu tapi ingat sedang full make up mode on, bisa bleber kalau menangis. Akhirnya aku tersenyum saja sambil mengerjap-ngerjapkan kedua mataku, mencegah air mata keluar.

"Makasih," ucapku tulus. Aku menoleh pada Mas Faaiz. "Makasih sudah dan masih sabar sama aku yang rewel dan panik terus akhir-akhir ini."

Mas Faaiz, seperti biasa tersenyum manis dan menenangkan. "Pengajuan kan berdua jadi ya ditanggung berdua. Dan apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untuk Mbak Gina meski mungkin ke depannya ragaku nggak selalu bisa mendampingi."

Kan jadi ingin tambah nangis ini ceritanya. Mau peluk bukan halal, nggak meluk rasa hati ingin bersandar. Apalagi Mas Faaiz itu tipe pendiam dan kaku tapi suka memberi yang manis-manis tanpa diduga. Kan jadi malu! Kan jadi baper!

"Semangat! Tinggal sedikit lagi kita ke KUA lho, Mbak," bujuknya masih dengan senyumnya.

Aku pun terhipnotis dan mengangguk. "Semangat!" seruku sambil mengepalkan tangan ke atas.

Sungguh, aku terharu!

"Sekali lagi makasih ya, Mbak Gina, Putri juga terutama," celetuk Mbak Khanzana. Eh, iya, ini kan acara dia duuuh! "Terima kasih selalu mendukungku, di saat aku jatuh, kamu Putri, selalu ada buat aku. Allah Maha Baik. Allah kasih aku orang-orang terbaik. Kalian semua. Terima kasih."

Kaaan, jadi mau nangis!

Tapi ya, Allah Maha Baik. Allah selalu ada buat kita. Saat kita lupa pun, Allah masih menunggu kita. Pertemuan kami bertiga bersama pasangan masing-masing adalah kebaikan Allah yang menyimpannya untuk kami. Nggak sempurna di mata orang tapi kami terbaik bagi masing-masing dari kami di mata Allah.

🔚

🍃🍃🍃
*Anenchepaly adalah kondisi berbahaya yang menimpa bayi, di mana ia dilahirkan tanpa beberapa bagian otak dan tulang tengkorak. (www.alodokter.com)

Assalamu'alaikum semua,

Akhirnya...selesai juga cerita ketiga ini. Next siapa ya? Arisa si uletnya Bianca-Shaheer atau DeNa-nya Bianca? 😏😏😏

Yoook pantengin 😙😙😙

Sidoarjo, 02-02-2021

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang