3. 5. Toujours Prôche

699 130 0
                                    

L'episode Cinq
(Lepisod seng)

Hari ini akhirnya tiba juga. Mas Faaiz, Naqi dan yang lainnya berangkat satgas pamtas. Semalam mas Faaiz menyempatkan pamit sebelum tidur.

Kuantar dia dengan doa, semangat dan senyuman. Mungkin kalau aku mengantarnya pergi, pasti nggak akan bisa menahan air mataku.

"Faaiz sudah berangkat?" tanya mama saat kami makan siang.

Aku mengangguk. Si Mas juga hanya bisa pamit by phone semalam ke Mama. "Sudah. Pagi tadi."

"Semoga selamat sampai tujuan dan tetap selamat sampai pulang nanti," doa mama.

"Aamiin Ya Rabb," balasku.

Berkat mama dan papa aku sedikitnya mengerti dunia militer dan perjuangan kedua mbah kakungku. Banyak kisah tentang kedisiplinan, patriotisme juga keseruan yang membuat tertawa meluncur dari mulut keduanya.

Makanya, meski sebatas kulit luar, aku nggak terlalu kaget dengan pekerjaan mas Faaiz di mana waktunya lebih banyak untuk negara tapi aku sadar ketika menjadi istrinya nanti apa yang kurasakan sekarang pasti akan berbeda dengan yang kurasakan dan kualami nanti.

Aku harus siap mandiri dalam segala hal karena mas Faaiz nggak akan selalu ada untukku. Sebetulnya itu hal yang paling berat. Bukan tentang mandiri karena aku termasuk perempuan berdikari tapi aku tipe yang nggak suka ditinggal. Sangat kontradiktif memang.

Dalam doaku aku selalu memohon diberi lelaki terbaik dan ternyata dia yang terbaik versi Allah. Seseorang yang lebih muda dan pekerjaannya justru sering membuatnya jarang di rumah. Dia, bukan lelaki yang kuinginkan tapi kubutuhkan. Lelaki yang dengan caranya bisa menopangku meski selalu ada jarak di antara kami. Lelaki yang membuatku nyaman dan bisa mengerti aku tanpa banyak kata.

Apa ya? We're click from the very first? Yah, semacam itulah.

Setelah makan siang, masih belum ada kabar dari mas Faaiz. Bahkan papa saja baru pulang dari mushola. Akhirnya aku pun sholat dan tidur siang.

Entah karena ngantuk atau apa, aku nggak sadar sudah tidur berapa lama dan saat bangun jarum jam sudah menunjuk ke angka empat. Segera aku mandi dan sholat ashar.

Selesai sholat, aku pun menyapu rumah. Sampai di teras depan kulihat mbak Khanzana baru pulang beli gas elpiji. Kostan kami memang nggak ada dapur umum tapi ada sedikit sudut untuk dapur mini di dalam kamar yang berdampingan dengan kamar mandi.

Selesai semua pekerjaan, aku kembali ke kamar tapi baru mau buka pintu ada panggilan dari mbak Khanzana.

"Apa, Mbak?" tanyaku.

"Ini tadi aku beli donat," kata mbak Khanzana seraya menyerahkan wadah berisi donat.

"Ya Allah, makasih loh," ucapku sungkan.

"Nggak apa timbang ngiler entar aku dimarahi Mas Faaiz," ejeknya.

"Dikira ngidam kali," sahutku sambil memutar kedua bola mataku.

"Mbak?"

"Iya?"

"Sudah berangkat ya?"

Aku tersenyum lalu mengangguk. "Iya. Tadi pagi. Nggak pamit?" tanyaku sambil mengajak duduk di kursi teras.

Mbak Khanzana mengangguk. "Pamit tadi."

"I see." Aku mengambil satu donat cokelat kacang dan memakannya. Membiarkan keheningan di antara kami sejenak. Perempuan sebelahku ini tampak sibuk dengan pikirannya.

"Besok masak bareng yuk? Aku pengen bikin sup rumput laut sama kimbab," ajaknya.

"Boleh." Aku mengangguk mantap. "Ehm, Mbak Khanza sama Bang Naqi gimana?" tanyaku hati-hati karena aku nggak mau dibilang kepo atau mendesak mereka harus bersama.

"Baik," jawabnya dengan senyum tapi belum mencapai matanya.

"Aku nggak bisa bilang Bang Naqi serius atau engga karena itu masalah hati dan urusan pribadi kalian berdua, aku cuma ingin tahu uhm ... Mbak Khanza trauma sama yang lebih muda seandainya Bang Naqi serius?"

"Jujur sih masih terbayang. Bukan tentang almarhum meski sedikitnya terkait ya. Seperti yang kamu bilang, banyak yang harus dikompromiin. Apa Bang Naqi sanggup?"

"Kalau memang dari hati, in syaa Allah sanggup. Kalau betul-betul serius, usia bukan halangan."

Aku pasti senang sekali dan akan jadi orang pertama yang berbahagia kalau mereka berdua bersama tapi aku tahu bahwa kehidupan sosial mbak Khanzana bukan aku saja. Ada keluarga dan teman-temannya sendiri. Putri sendiri sebetulnya termasuk yang kurang setuju dengan ide memiliki pasangan yang lebih muda. Terlalu rawan dan banyak kompromi yang harus disanggupi.

Tapi kalau sudah jodoh, bisa apa?

🍃🍃🍃

Assalamu'alaikum semua...

Nulis dari kemarin gak kelar-kelar 😂😂😂

Sidoarjo, 06-12-2020

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang