Je m'appelle Flo #1

586 69 7
                                    

Namaku Floresia Angel Matulessy, anak campuran Mama dari Nusa Tenggara Timur dan Papa dari Maluku. Kelihatan sekali kan dari namaku. Namun, banyak yang mengira namaku, Flora, Florensia atau Florentina karena panggilanku Flo. Papa seorang prajurit TNI angkatan darat dan kini sudah pensiun, sedangkan Mama seorang ibu rumah tangga saja. Kini keduanya tinggal di Sidoarjo dan Mama sibuk dengan bisnis kue basahnya.

Hari ini adalah hari kelima setelah pertemuan tak terduga dengan seorang Karim Abhibbuti Antarikshe Pradipa, kakak kelasku di SMP yang blasteran Perancis meski hanya mengalir seperempat saja sih. Dia selain pernah menjadi ketua OSIS juga seseorang yang bermata Hazel dan sifatnya yang kalem. Kalau boleh mengaku-ngaku bahwa kami memiliki kedekatan, itu berkat dia adalah saudara sepupu sahabatku, Bianca. Ah, aku rindu dengannya. Apa kabarnya kamu, Bi? Aku rindu cerewetmu.

Kami putus komunikasi secara total akibat Bianca mengalami kecelakaan sampai harus diungsikan ke Inggris. Fisiknya bisa pulih tapi psikisnya perlu waktu lama untuk pulih.

"Bu Flo, yang kemarin siapa? Ganteng tuh. Bu Flo kenal bule?" tanya Bu Asa, guru bahasa Inggris yang seumuranku dan kami masuk di sekolah yang sama hanya selisih satu bulan, dia lebih dulu. Dia yang mejanya di depanku memutar duduknya ke arahku.

Aku mengangkat kedua alisku sembari mendongak. Menghentikan pekerjaanku mengoreksi pekerjaan murid-muridku.

"Bule? Bule siapa? Kemarin kapan? Di mana?" Sesaat aku bingung. Kapan aku ketemu bule?

"Aduh kura-kura di atas batu, pura-pura nggak tahu," goda Bu Asa. "Yang di telaga Sarangan itu loh. Mau tanya lupa terus."

"Lah, ini sudah lewat berapa hari, Bu?" Aku terkekeh mendengarnya. Maksudnya Mas Abhi toh? "Makanya bingung. Kemarin kapan, di mana, siapa? Dia sih bukan bule. Orang Indonesia asli, ya neneknya sih orang Perancis tapi sudah WNI juga kok."

"Intinya kenal, kan?"

Aku mengangguk. "Kakak kelas waktu SMP dulu. Sepupunya sahabatku. Baru ketemu lagi kemarin," terangku lalu kembali menekuri pekerjaanku.

"Ganteng, ya?" Masih terdengar Bu Asa berceloteh yang membuatku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Untung saja dia jomlo jadi ocehannya tak membuat fitnah. "Waktu itu liburan juga?"

"Nggak tahu," jawabku jujur.

"Lah, kok nggak tahu yak apa sih, Bu?" Bu Asa tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

Mendengar intonasi suaranya, aku pun mendongak dan mendapati wajahnya tampak heran. "Lah, memang nggak tahu. Kami baru ketemu lagi kemarin dan nggak sempat ngobrol banyak."

"Lah, kemarin di pinggir telaga berdua itu nggak ngobrol? Karaoke atau masak?"

Nada sarkas yang terselip dalam pertanyaannya membuatku tertawa. "Ada hal lain yang harus dibahas."

"Contohnya lamaran?"

Mengingat ucapan spontan Mas Abhi yang menyebutku sebagai calon istrinya untuk menghindari seseorang membuat wajahku memanas dan aku berusaha keras mengendalikannya. "Lamaran apa?"

"Saya dengar loh, Bu," kata Bu Asa masih ngotot. "Menyebut calon istri segala. Masa baru kenal kayak gitu? Nggak lagi berantem, kan?"

Berantem apanya? Bisa buat Mas Abhi mangap dan ngomong panjang saja sudah luar biasa, malah berantem. Rekor itu sih kalau sampai kejadian.

Aku menggeleng. "Nggak berantem."

Bu Asa terdiam sesaat. "Maaf, saya cuma kaget kebablasan kepo jadinya," ucapnya menyesal. "Soalnya Bu Flo nggak pernah seperti itu sih."

Aku menggeleng. "Gejolak muda ya, Bu?" Di antara semua guru yang ada, kami berdua yang paling muda dan kebetulan sama-sama jomlo. Ada sih guru lain yang jomlo juga tapi kedekatannya berbeda dengan kami berdua.

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang