3.2. Toujours Prôche

948 167 34
                                    

L'episode Deux
(Lepisod de)

Mas Faaiz dan Naqi sudah pulang tetapi mbak Khanzana tetap tinggal. Tadinya saat kupikir dia kaku seperti patung karena kuseret paksa bergabung dengan kami. Ternyata dia masih bisa interaksi dengan normal.

"Maaf ya tadi kupaksa gabung," ucapku akhirnya.

Mbak Khanzana tersenyum. "Nggak apa-apa kok, Mbak."

"Maaf, nggak trauma sama loreng kan?" tanyaku hati-hati.

Mbak Khanzana menggeleng tapi bisa kulihat sorot mata yang sendu. "Nggak kok. Cuma emang otomatis jadi teringat aja."

Ya, aku paham. Kalau itu terjadi padaku, aku pasti berlaku sama seperti apoteker di depanku ini meski kata Putri dia bukan asisten apoteker tapi farmasi klinis eh entahlah aku belum paham menyebutnya apa.

Aku tersenyum padanya. "Aku yakin Mbak Khanza pasti bisa kuat."

"Aamiin, makasih," ucapnya tulus.

Kami berdua terdiam sesaat lalu kudengar mbak Khanzana menghembuskan napas kasar.

"Aku nggak pernah minta dan menyangka bisa punya pacar tentara. Entah bagian dari karma karena selalu menghindar tiba-tiba saja kenal dia dan pacaran," cerita mbak Khanzana.

"Kok karma?" sahutku nggak ngerti.

"Aku udah males dan sebal dengan stigma abdinegara dalam hal ini tentara khususnya pasti pasangannya orang kesehatan," terangnya tampak kesal.

Aku terkekeh. "Ya takdir terus mau gimana coba?"

Mbak Khanzana tersenyum. "Iya. Takdir. Takdir aku ketemu almarhum juga. Seorang tentara."

Aku mengusap lengannya. "Sabar ya?" Aku nggak bilang ikhlas karena tahu hubungan mereka nggak semulus pantat bayi. "Nanti in syaa Allah dapat ganti yang lebih baik."

"Aamiin. Aku udah move on kok, Mbak," kata mbak Khanzana sambil tersenyum manis. Dia nggak bertanya bagaimana aku bisa tahu tentang hubungannya dengan almarhum karena sesekali melalui Putri, dia bertanya mengenai hal-hal berbau militer sebab dia murni sipil.

"Semangaaat! Ehm, sama Bang Naqi mau?" tanyaku.

"Eh?"

Aku nyengir.

"Nggak ada yang seumuran atau lebih tua gitu?" tanya mbak Khanzana ganti nyengir.

"Aku tanya mas Faaiz dulu apa ada seniornya yang lagi cari pasangan," hyah, poor you Naqi, layu sebelum berkembang. "Keingetan almarhum ya?"

"Kurang lebih."

"Ya gimana, ketemunya sama yang lebih muda. Padahal nggak niat nyari yang lebih muda."

Mbak Khanzana tersenyum.

Aku menatapnya penuh selidik. Kelihatannya memang sudah ... move on? "Resiko mendampingi tentara itu termasuk pulang nama aja."

Mbak Khanzana mengangguk. "Kamu pernah merasa takut?"

"Tentang?"

"Kalau Masmu tugas?"

Aku mendongak ke atas mengingat semua perasaanku. "Bohong kalau nggak takut. Meski tahu kalau manusia itu pasti mati tapi takut ditinggal itu ada."

Kowe ninggal aku pas sayang-sayange...

Kembali lagu Safira Inema terbayang di kepalaku. "Meski juga udah terbiasa mendengar keluarga yang pergi tugas tapi rasanya tetap beda ya kalau itu menyangkut orang terdekat kita. Egois memang," sambungku.

Ada kalanya aku begitu ingin menghubunginya tapi kutahan jariku setengah mati agar nggak memencet nomernya karena ibu pertiwi membutuhkannya. Tapi akhirnya hanya mampu memanjatkan doa perlindungan untuknya.

"Yang tentara di keluargamu berapa sih, Mbak? Papamu?" tanya mbak Khanzana penasaran.

"Banyak. Bapaknya Mama sama Papa tentara dua-duanya. Anak-anaknya Mbah juga ada. Papaku sipil. Aku murni sipil tapi keluarga besar banyak yang tentara. Jarang ketemu dan sekalinya ketemu heboh," jawabku sambil nyengir.

"Berarti udah terbiasa ya kalau nggak ada kabar dari Masmu?" Tampak mbak Khanzana penasaran.

Aku terkekeh sembari menggeleng. "Aku nggak pernah terbiasa. Hanya berusaha kuat. Apalagi sekarang. Harus semakin kuat. Kalau aku nggak kuat, dia nggak tenang saat dinas. Jadi ya secampur aduk apapun perasaanku, di depannya aku tetap tersenyum. Tapi Mas Faaiz nggak pernah menuntutku jadi wonder woman. Sewajarnya aja. Tahu porsi dan kondisinya aja."

Perempuan manis di depanku manggut-manggut. "Aku kira Mbak Gina itu tipe tough girl."

Kembali aku terkekeh. "Nggak. Justru sebaliknya. Cengeng. Manja. Tapi aku diajarkan untuk jadi tough girl sama Papa. Kontras ya?"

"Banget." Mbak Khanzana ikut terkekeh.

"Bukan berarti aku maksain diri pura-pura tough. Tegar. Enggak sama sekali. Tapi ada kalanya kita harus kuat dan tegar. Apalagi kalau sudah mantap menerima tentara sebagai pasangan, nantinya juga harus belajar mandiri."

"Apa aku bisa?" tanya mbak Khanzana dengan pandangan menerawang.

"Bisa in syaa Allah." Kuelus lengan perempuan di depanku. "Kalau dari hati, in syaa Allah mampu."

"Aamiin."

Masalahnya, kira-kira apa Naqi bisa nembus pertahanannya mbak Khanza?

Tbc➡
🍃🍃🍃

Assalamu'alaikum,

Masih tanggal 18 ternyata. Kukira sudah berganti hari. Kurang 100an kata, mataku udah ngantuk berat eh ada yang ngajakin ngobrol dong bahas gelar-gelar para dokter yang berderet sepanjang kereta itu. Mata yang tadinya sisa 5 watt langsung cemerlang gegara saking nggak ngertinya aku 😩😏😂😂😂

Sidoarjo, 18-11-2020

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang