4.2. L'amour De Cœr

903 160 61
                                    

La Pièce Deux
(La pies de)

Aku menatap malas laki-lagi baret ungu berpangkat Prajurit Kepala di depanku ini. Tentara yang berasal dari Salatiga dan setahun belakangan gencar mendekatiku. Aku hanya berdiri sambil bersedekap di depan pintu.

"Kamu mau apa?" sergahku. "Cepat bilang, aku mau tidur. Capek pulang jaga!"

Harsanto, laki-laki itu tersenyum. "Aku juga baru turun jaga. Sama dong. Nih, mau antar sarapan buat kamu. Belum makan kan?" Ia menunjuk bungkusan yang kutengarai sebagai nasi pecel. Seperti biasa.

"Nggak usah repot. Aku bisa masak atau beli sendiri," sinisku.

Harsanto mengangguk. "Ya tahu. Makanan yang mewah dan mahal. Bukannya kamu seharusnya membiasakan diri hidup sederhana juga? Bagaimana hubunganmu dengan Kapten Shaheer? Lancar?"

Orang ini! Kenapa hobi sekali mengusikku sih?

"Ya, lancar! Jadi kamu nggak usah temui aku lagi!" ujarku.

Aku benci wajah tenangnya. Aku benci senyum kalemnya. "Yakin? Bukannya Kapten Shaheer baru lamaran ya seminggu yang lalu?"

Aku melotot padanya. Dari mana laki-laki berpangkat rendah ini tahu? Jangan bilang dia kenal Shaheer yang perwira itu! Mustahil!

Harsanto terkekeh. "Dunia militer itu sempit, Risa. Meski mungkin aku nggak kenal Kapten Shaheer secara pribadi tapi aku punya teman di sana. Aku sudah sering bilang, jangan terlalu mendongak. Jangan pula merendahkan pangkat di bawahnya. Kamu boleh benci aku tapi jangan pangkatku. Karena dari pangkatkulah Papamu berasal. Karena dari pangkatkulah, kamu bisa jadi dokter seperti sekarang. Aku pulang ya? Sarapan dulu terus istirahat. Assalamu'alaikum."

Aku hanya mendengkus bahkan ketika ia naik motornya, mengklaksonku lalu meninggalkan rumahku. Tak lama kebetulan pembantu sebelah lewat.

"Yuk, sini sebentar," panggilku dengan senyum ramah.

Karena cluster perumahanku tak ada pagar sehingga siapapun bisa langsung masuk. Adanya one gate system yang ketat.

"Iya, Bu dokter? Baru pulang ya?" tanya Yuk Mur, pembantu sebelahku.

"Iya nih. Oh ya, tadi saya beli pecel lebih. Buat Yuk aja daripada mubazir," kataku sembari memberikan bungkusan dari Harsanto tadi.

"Loh, Bu dokter gimana? Kok bisa lebih?" tanya Yuk Mur heran.

"Tadi teman nitip malah lupa sendiri. Terlanjur pulang. Mumpung anget nih," desakku.

"Nggeh pon. Makasih ya, Bu dokter. Permisi mau ke rumah Bu RT dulu tadi minta pijet kalau kerjaan di rumah beres," pamit Yuk Mur.

Aku mengangguk. Ya, Yuk Mur memang terkadang diminta untuk memijat di blok kami. Enak memang kuakui.

Setelah dia pergi, aku buru-buru masuk dan mandi. Gerah sekali.

"Dasar cowok kurang ajar! Sudah dibilangin aku nggak tertarik. Apa kata orang kalau dokter kayak aku, suaminya cuma tamtama. Praka. Iya balok. Tapi bukan pundak. Balok di lengan. Biru pula!" geramku. "Ngerti nggak sih dia tuh! Kalau merasa cakep, ya sudah sih cari yang mau sama dia!"

Sambil mandi aku terus menggerutu. Betul-betul merusak mood banget dia tuh. Huh!

Selesai mandi, karena sudah terlanjur badmood, aku pun pesan sarapan online saja. Sambil menunggu, aku pun main hape. Tapi sepuluh menit kemudian bel pintu berdering.

"Masa sudah datang sih?" gumamku sambil beranjak dari kamar menuju ruang tamu.

Dari lubang pintu ternyata itu Om Maruli. Teman Papa. Segera kubuka pintunya.

"Siang, Om," sapaku sambil salim padanya. "Masuk-masuk. Tumbenan pengacara sibuk masih menyempatkan diri ke sini?" tanyaku.

"Ya, ada perlu. Maaf mendadak tanpa pemberitahuan. Untung kamu di rumah," sahut Om Maruli, lelaki tambun berusia setengah abad itu sambil mengikuti masuk dan duduk setelah kuisyaratkan.

"Mau minum apa?" tanyaku.

Om Maruli menggeleng. "Cuma sebentar. Setelah ini harus ke Malang."

Aku mengangguk. "Oh gitu."

Om Maruli menatapku yang membuatku bertanya-tanya karena sulit ditebak. Pantas menjadi menjadi pengacara top.

Om Maruli menghela napas pelan. "Kamu terlibat apa, Arisa?"

"Maaf, maksudnya, Om?" tanyaku tak mengerti.

"Meskipun Om dan Papamu berteman dekat seperti saudara tapi kali ini Om tidak bisa berdiri di samping Papamu terutama kamu," kata Om Maruli yang masih membuatku tak mengerti.

"Bentar deh, aku nggak paham." Apa gara-gara bertemu Harsanto tadi membuat kinerja otakku kacau?

Kali ini Om Maruli menghela napas dalam. "Teman Om yang lain, Mayjen dr. Sahil meminta Om untuk mewakili keluarganya menuntutmu."

"Eh?"

Tbc➡
🍃🍃🍃

Assalamu'alaikum. Selamat siang menjelang sore yang mendung yuhuuu...

Masih esmosi? 😄😄😄

Sidoarjo, 03-02-2021

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang