La Vie de Garin #11

345 68 0
                                    

11. Bertemu Teman Lama 2

"Kita ditraktir Garin hari ini," beritahu Surya ketika kami sudah kembali di meja tempat orang tuanya menunggu.

"Lho, kok bisa? Biar Surya yang bayar loh, Mbak," sahut ibunya Surya.

Aku tersenyum. "Justru saya yang nggak enak baru ketemu, ada orang tuanya pula, malah ditraktir di tempat saya sendiri."

"Maksudnya?" tanya ayahnya Surya kelihatan bingung.

"Dia kerja di sini, Yah." Surya yang menjawab.

Ibunya Surya mengibaskan tangannya padaku. "Kerja di sini kan nggak harus nraktir, toh. Sama-sama kerja. Lain kali biar Surya yang bayar."

Wah, ya nggak gitu juga, Tan. Gaji Surya sebulan nggak bisa dipakai buat beli mobil tunai. Kalau selalu harus dia yang traktir, bisa bangkrut sebelum nikah. Eh, belum menikah kan dia? Sesekali boleh sih. Tapi, kadang ego cowok juga malu kalau ditraktir cewek sih ya? Sudah terpatri abadi sepertinya dalam pola pikir mereka bahwa cowok harus jadi bagian yang mentraktir. Ya, selama mampu sih nggak masalah karena masalahnya nggak semua cowok mampu. Yang paling enggak banget itu kalau memaksakan diri biar dibilang oke. Cuma memang adakalanya mereka wajib mentraktir kalau si cewek secara keuangan di bawah dia.

Aku sendiri menanggapi ucapan ibunya Surya yang masih nggak kuketahui namanya itu dengan senyuman saja. Buatku nggak ada perlunya untuk mengatakan bahwa Rainbow milik keluargaku. Di SMA kami nggak sedekat itu bahkan bukan teman akrab Mas Abhi yang memang cenderung cuek dengan orang lain itu, sehingga nggak aneh seandainya dia nggak pernah tahu Rainbow milik siapa. Mungkin dia nggak ingat juga bahwa Rainbow ada di Malang.

Tak lama minuman kami datang berikut donat dua setengah lusin. Yang setengah untukku pribadi dan yang dua lusin masing-masing kuberikan pada Surya dan ibunya.

"Itu buat Tante dan Om meski saya nggak tahu nanti pulang ke mana, dan satunya buat kamu, Surya. Kalau kamu tinggal bareng rekan yang lain di mes, itu buat kalian," kataku.

"Kok repot malahan," ujar ibunya Surya tak suka.

"Aku yang ngundang, aku yang ditraktir. Bukan gini konsepnya," sambung Surya membenarkan ibunya.

"Kapan lagi, kan?" Aku menyeringai.

Saat hendak minum, ada beberapa tutor yang sedang ke kafe menyapaku dengan hormat.

"Saya kira Mbak Garin sudah pulang," kata salah satu dari mereka.

"Iya nih, belum. Ketemu teman. Kenalkan ini Surya, teman SMA saya dulu dan orang tuanya," sahutku memperkenalkan mereka.

Setelah perkenalan singkat, para tutor itu meninggalkan kami dan menuju meja yang diinginkan.

"Mbak Garin kerjanya apa?" tanya ayahnya Surya tampak penasaran. Mungkin memperhatikan interaksiku dengan para tutor tadi.

Aku minum sebentar sebelum menjawab. "Saya di kantornya."

"Stafnya?"

Aku meringis dan mengangguk. "Semacam itu."

Kafe Rainbow hampir nggak pernah sepi. Jika para siswa sudah masuk kelas masing-masing, masih ada pengunjung umum yang datang. Seperti kali ini yang nampaknya mulai cukup ramai.

"Wes pokoknya lain kali gantian Mbak Garin ditraktir." Tiba-tiba Ibunya Surya mengucapkan dengan nada final.

Masih di situ juga. Aduh, Mama...

Surya sendiri malah manggut-manggut. "Kapan-kapanlah aku main ke rumahmu. Tapi, yang Sidoarjo aku nggak tahu. Tahunya yang di Malang. Memang sudah boleh keluar sama cowok lain?"

Aku kembali meringis. Ya, meski kami berdua nggak dekat dan dia juga nggak tahu aku cucu pemilik Rainbow, karena sekelas jelas tahu kebiasaan kami yang nggak pernah pergi sendiri.

"Jelas nggak boleh. Tapi kalau mau datang, ke rumah yang di Malang saja. Soalnya di Surabaya cuma semingguan," kataku.

Surya menatap kaget. "Katanya tadi kerja di sini?"

Aku mengangguk. "Iya. Sedang mengurus beberapa hal di Rainbow Surabaya. Aslinya ya di Rainbow pusat yang di Malang."

Surya manggut-manggut. "Owalah, gitu ta. Ya, ya, paham. Masih di rumah yang dulu, kan?"

"Iya. Yang dulu."

"Masih ingat nggak ya? Gampanglah, nanti tanya Abhi."

Aku tersenyum.

Semoga dia single lahir batin saja karena aku nggak mau terlibat keruwetan apa pun di atas hubungan orang lain. Tapi, kalau dari percakapan mereka sih sepertinya masih single.

Aku nggak keberatan dengan kehadirannya bukan berarti aku suka. Aku hanya nggak ada alasan untuk bersikap buruk, apalagi tadi dia mengatakan sedang bersama orang tuanya. Sebagai nona rumah yang baik, tentu aku merasa harus menyambut dan menyapa walaupun sebentar. Semisal ini terjadi di luar, mungkin aku hanya betul-betul menyapa orang tua Surya sekilas lalu pulang. Tentang dia hendak ke rumah pun, dia tahu bagaimana aku dan keluargaku, lalu punya itikad baik untuk datang ke rumah, masa aku larang?

"Tante, Om, saya betul-betul minta maaf karena nggak bisa menemani lama. Sudah ditunggu Grandma sama Grandpa di rumah untuk makan malam bersama. Saya pamit sekarang ya? Pamit dulu ya, Surya. Assalamu'alaikum," kataku setelah es jerukku habis lalu beranjak.

"Wa'alaikumussalam," sahut Surya dan orang tuanya serentak.

Surya ikut beranjak. "Aku antar ke depan. Bawa kendaraan?"

Aku mengangguk. "Bawa."

"Hati-hati, ya," kata ibunya Surya yang sampai akhir aku tetap nggak tahu namanya.

Bersama Surya aku keluar dari kafe.

❤️🤍🧡

Aku shalat magrib di jalan, kalau menunggu di rumah, takutnya nggak kebagian waktu. Dan sampai rumah langsung makan malam.

Grandma mengira aku pulang terlambat karena pekerjaan, sebab aku memang nggak bilang ketemu Surya. Jadi begitu datang, langsung disuruh ke meja makan. Kebetulan perutku juga sudah keroncongan.

"Maaf, telat dan nggak ngomong. Soalnya tadi ketemu teman SMA sama orang tuanya dulu di kafe Rainbow. Nggak enak kalau langsung pulang," kataku mengaku dosa. "Tadi malah diajakin makan bareng tapi aku nggak mau."

"Siapa?" tanya Grandpa.

Aku yang tengah mengambil opor ayam, kuletakkan dulu di atas piring sebelum menjawab. "Itu loh, Surya, lettingnya Mas Abhi. Angkatan laut. Ingat nggak?"

Grandpa diam, berpikir sejenak lalu mengangguk. "Oh, yang itu."

"Iya. And you know what, aku nggak tahu nama orang tuanya bahkan sampai pulang tadi hehehe."

Grandpa dan Grandma berdecak sambil menggelengkan kepalanya.

"Ya, gimana, Surya nggak ngomong nama mereka siapa. Mana dari SMA kan nggak pernah dekat cuma tahu sebatas teman sekelas." Aku mengangkat kedua bahuku acuh tak acuh.

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang