La Vie de Garin #09

348 68 0
                                    

09. Hukuman Grandpa.

Aku, Mama, Grandpa dan Grandma pulang sore. Ketika kutawarkan untuk pulang lebih dulu, kedua orang yang sudah sepuh itu menolak dan memilih ikut membantu membereskan kekacauan. Tentu saja tidak langsung selesai karena banyak hal yang harus disusun ulang. Tapi minimal draftnya ikut membuat sekaligus menekankan apa dan bagaimana Rainbow itu berjalan, termasuk sejarahnya agar kelak tidak terulang kesalahan yang sama.

Saat pulang, sampai di Sidoarjo, sebab kami menginap di rumah Oma Azi, sudah mendekati magrib. Akhirnya untuk makan malam aku memutuskan pesan saja. Tadinya mau makan di rumah tapi Papa mau menyusul katanya.

Agak bingung juga memilih makanan untuk para orang tua. Maunya ayam krispi yang mudah dan cepat tapi kok kasihan. Akhirnya aku pesan nasi ayam panggang.

Kami shalat dan mengaji bersama setelah itu menunggu makanan datang sambil ngemil keripik singkong milik Yu Asmi di ruang keluarga. Aku harus beli gantinya besok.

Sebetulnya aku agak deg-degan ini. Sepertinya hukumanku ditangguhkan setelah makan ini. Soalnya Grandpa nggak ngomong apa-apa.

"Kenapa nggak masak sendiri aja?" tanya Grandma.

"Grandma lapar?" tanyaku.

Grandma menggeleng. "Belum."

"Ya, kan Yu Asmi nggak belanja banyak. Nggak tahu kalau Grandma sama Grandpa datang. Sebentar lagi juga Papa."

Tepat saat itu terdengar suara klakson di depan. Aku segera ke depan dan mengintip di jendela. Benar saja Papa.

"Siapa, Mbak?" tanya Yu Asmi yang menyusulku.

"Papa. Tolong buatin teh, makasih."

"Baik." Yu Asmi, perempuan empat puluhan yang tinggal bersama suaminya itu mengangguk dan masuk lagi ke dalam.

Aku sendiri membuka pintu dan keluar untuk membuka gerbang. Baru menutupnya saat Papa sudah parkir di carport. Setelahnya masuk bersama-sama.

"Papa berangkat jam berapa kok sudah sampai?"

"Dari kampus langsung ke sini. Ini." Papa memberiku bungkusan yang berisi gorengan ternyata. Lalu, tiba-tiba Papa terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.

Aku menoleh heran. "What ?"

"Tadi yang jual ngirain Papa bule. Pas Papa mau ngomong diduluin tanya, You want buy what, Sir?, Gramatically incorrect tapi Papa mengapresiasi karena dia berusaha sebaik mungkin dengan bahasa Inggris yang pas-pasan," terang Papa masih menggelengkan kepalanya.

Menarik. "Terus?"

"Ya, Papa jawab pakai bahasa Inggris juga,"

"Tu es sérieux, Papa? (Kamu serius)" tanyaku tak percaya.

Papa mengangguk.

"Papa usil atau ngetes?" Tapi Papa bukan tipe seperti itu deh. Papa Rahil masih mungkin.

"Bentuk apresiasi. Dia mau belajar meski terbata-bata. Meski dia mengucapkannya kata per kata bukan sesuai grammar. Dia juga nggak malu. Bagus. Papa suka. Dia percaya diri. Kalau saja Rainbow dekat, mungkin sudah Papa suruh datang ke Rainbow."

Aku mengangguk. "Ya. Bahasa tujuannya untuk komunikasi. Lancar karena terbiasa."

"Nah itu."

"Ngobrolin apa kalian asyik betul?" celetuk Mama yang bangkit menyambut Papa dan salim.

Kami berdua tanpa terasa sudah di ruang keluarga.

"Assalamu'alaikum," sapa Papa yang segera kami balas lalu menyalim tangan Grandma dan Grandpa.

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang