3.1. Toujours Prôche

1.8K 192 37
                                    

L'épisode Une
(Lepisod un)

Si tu cherches ce qu'est l'amour
Et ce que moi, j'en dis
Je te dévoilerai
Que tout émane d'Allah
L'ivresse pure, pour nos âmes
Il est ton créateur et le mien, celui des cieux et de tout l'univers
Il nous accorde la vie
Il est le protecteur de ceux qui croient en Lui
Et quand les temps sont rudes
Que tu te sens perdu
Souviens-toi Sa promesse
Il est toujours proche
Son amour nous réclame, Sa clémence nous implore
Souviens-toi Sa promesse
Il est toujours proche
Sur nous Il veille sans cesse, nous guide
Il connait le tréfonds de nos coeurs
Alors quand tu cherches ta voie, vers Allah tourne-toi
Souviens-toi sa promesse
Il est toujours proche

Terdengar alunan merdu Maher Zain, Always There versi bahasa Perancis, Toujours Prôche dari kamar kos yang baru dihuni kemarin yang terletak di seberang kamarku. Orang tuaku memang memiliki kos-kosan putri sepuluh kamar. Lima di bawah dan lima di atas. Semua menghadap arah samping rumah kami. Kebetulan kamar milik mbak Khanzana, si penghuni baru tepat berseberangan dengan kamarku. Baru kali ini mendengar yang nggak biasa. Mbak-mbak yang lain kalau bukan musik pop Indonesia, barat ya campur sari atau dangdut. Orang tuaku mengizinkan musik diputar keras selama volumenya masih bisa ditoleransi dan bukannya seperti sedang hajatan.

Lalu aku pun ke dapur dan di sana sayup-sayup terdengar lantunan Safira Inema yang sedang booming akhir-akhir ini dari kamar ujung yang pemiliknya penggemar dangdut dan campur sari.

Piye kabarmu sayang
Opo kowe eling aku
Biyen sing mbok tinggal tanpo mesakne
Kowe ninggal aku pas sayang-sayange
Lungamu ninggal tatu ning atiku

Aku terkekeh sambil membuat teh hangat. Kontras sekali depan-belakang. Kulihat jam dinding dapur, sebentar lagi tamu-tamuku akan datang.

Benar saja, begitu teh siap, ada panggilan dari mama kalau mas Faaiz dan Naqi sudah datang. Segera kubawa teh ke depan.

"Mama mana?" tanyaku pada dua lelaki berseragam loreng di depanku.

"Tadi dipanggil tetangga depan," jawab mas Faaiz, calon suamiku.

Aku meletakkan nampan dengan cangkir-cangkir teh ke atas meja. "Oh. Eh, monggo diminum dulu."

"Ada penghuni baru ya?" tanya Naqi sahabat mas Faaiz yang sering ikut ke rumah.

Aku mengangguk. "Mbak Khanzana. Kerja di farmasi rumah sakit."

"Aku tahu. Aku pernah papasan di rumah sakit," sahut Naqi sambil mengambil satu cangkir, meminumnya lalu meletakkannya lagi. "Tatapannya tajam tapi dingin."

Aku tersenyum sendu. "Pacarnya gugur dan kayaknya masih apa ya teringat gitu."

"Oh, Mbak yang kamu cerita itu?" tanya Faaiz.

Aku mengangguk lagi. "Soalnya menjelang kematiannya, mereka sedang ribut. Jadi kan ganjel gitu."

"Padahal cantik. Matanya bagus," puji Naqi.

Aku dan mas Faaiz serempak berdeham. Sementara Naqi menyeringai lebar dengan jujurnya sembari menggaruk kepalanya. Di sisi lain, baru kusadari sudah nggak ada lagi lantunan Maher Zain.

"Memangnya kalian ketemu Mbak Khanza?"

Mas Faaiz dan Naqi mengangguk serempak.

Meski mbak Khanzana penghuni baru dan aku belum terlalu akrab dengannya, tapi kami berdua punya teman baik yang sama. Putri. Hanya saja kami bertiga nggak pernah pergi bersama mengingat jadwal yang selalu bentrok. Dari Putri juga, dia disarankan pindah ke kostan kami.

Setelah melihatnya langsung, dia ramah dan sosok kuat menurutku, hanya tatapan matanya yang masih berkabut. Aku hanya berdoa dia bisa bertemu seseorang yang bisa kembali menceriakan sinar matanya.

Aku melirik Naqi, dari gesture sepertinya tertarik dengan mbak Khanzana. Sahabat mas Faaiz ini orangnya juga baik. Meski bukan tipe pendiam dan sekalem mas Faaiz tapi bukan juga yang suka menebar gombalan ke semua perempuan. Malah tipe yang harus melihat dua atau tiga kali dulu untuk benar-benar dekat seseorang. Tapi ini? Sekali bertemu sudah begitu? Luar biasa.

"Kenapa, Mbak?" tanya mas Faaiz.

Aku nyengir lebar. "Semoga Allah bantu."

"Maksudnya?"

Aku menggeleng.

"Mbak Nagina memang aneh kok," timpal Naqi.

Nggak lama mama masuk dengan membawa piring. "Nih, rezeki. Ada kue dari tetangga depan."

"Alhamdulillah!" seru kami bertiga.

Ada beberapa potong lapis Surabaya. Mama hanya ambil sepotong lalu masuk ke dalam. Sekitar lima menit kemudian, terdengar suara motor masuk ke sebelah dan Naqi langsung menoleh ke arah luar.

"Mas?" panggilku ke mas Faaiz.

"Iya?"

"Itu Babang Naqinya diiket ya biar nggak lepas," kataku.

Mas Faaiz tersenyum. "Naqi memang pernah cerita. Ternyata orang yang sama."

"Walah."

Naqi menatap kami berdua bergantian. "Kalian berdua ngomong apa?"

"Nggak ada," jawabku enteng sambil terkekeh lalu bersamaan dengan mas Faaiz mengambil cangkir dan meminum teh kami.

"Itu bawa-bawa namaku."

Aku terkekeh dan saat itu datanglah mbak Khanzana yang mengucap salam sambil melongok.

"Wa'alaikumussalam, masuk, Mbak," balasku sambil berdiri.

"Ini mau anterin pesanan donatnya Mbak Gina, tadi ketemu Putri. Dia nggak bisa mampir, ada tamu katanya," kata mbak Khanzana.

"Owalah. Gitu kok ya disempetin beliin titipanku loh ya?" komentarku.

"Donat, Mbak?" tanya mas Faaiz.

Aku nyengir. "Iya. Eh, sini kenalin ini, Mbak Khanzana temannya Putri. Yang duduk di tengah sofa itu Mas Faaiz, calon suamiku. Kalau yang ini," kutunjuk Naqi yang duduk dekat pintu, "Naqi, kawannya Mas Faaiz."

Mas Faaiz dan Naqi mengangguk sembari tersenyum begitu pun mbak Khanzana yang balas tersenyum.

"Yuk, duduk dulu," ajakku sambil menarik halus tangannya untuk masuk.

"Aku ... "

Tbc➡
🍃🍃🍃

Assalamu'alaikum semua,

Cerita terbaru. Kalau mau tahu lagunya gimana coba dengar Maher Zain yang Always There. Yang kutulis versi Perancisnya.

Masih bertema militer.

Oh iya, Bianca kecil Open PO lagi nih sampai tanggal 26 November. Pengiriman dari Makassar. Silahkan hubungi adminnya ya +62 853-4265-7159

Selain itu, dengan beli Bianca, 50% total royalti akan disumbangkan untuk Palestina.

Sidoarjo, 16-11-2020

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang