La Part Cinq
(La part seng)Kalau nulis kondisi setengah nyawa, jadinya ambyar. Ini udah mode revisi dan revisi lagi (berasa skripsi). Yang betul datang ke nikahannya Sadewa bukan Arjuna 😢
Maaf ya semua 😭
Kalau ada yang belum atau kelewatan masih nyebut Juna, tolong kasih tau ya. Makasih 😊🙇🍃🍃🍃
Hari ini aku bersama Karenina tengah menyusuri rak peralatan rumah tangga. Karenina, benar. Peralatan rumah tangga pun benar. Yang tidak benar adalah kami bukan pasangan suami istri yang bahagia dan tengah memilih kebutuhan rumah tangga.
"Mas Nakula ehm, yakin mau beli peralatan masak buat kado?" tanya Karenina ragu. Kegiatannya yang tengah memilih panci, terhenti dan mendongak padaku.
Aku mengangguk mantap. "Kenapa?"
Karenina menggeleng. "Nggak sih, cuma nggak biasa aja saya lihat ada cowok belanja alat rumah tangga untuk kado. Biasanya kasih duit biar nggak ribet."
Aku tersenyum. "Kalau uang itu pilihan sih. Ada yang kasih itu plus barang-barang atau barang saja kalau di keluarga saya."
Karenina mengangguk dan mulai memilih panci lagi. "Oh gitu?"
"Kasih sesuatu yang dibutuhkan."
"Enak ya jadi keluarganya Mas Nakula. Pengantin baru nggak perlu takut kekurangan isian rumah."
"Alhamdulillah."
Tadinya mau mengajak Oma Azi tapi kok kasihan kalau harus ikut putar-putar meskipun masih bugar di usia senjanya. Lalu aku kepikiran Karenina karena tak ada lagi yang bisa kuajak diskusi.
Urusan seperti ini, terus terang lebih jago si kembar Rahil-Sahil terutama adek Rahil yang kerap mengantarkan adek Aisha belanja daripada aku dan adek Sadewa. Bahkan adek Rahil hafal jenis baju perempuan.
"Ini bagus," kata Karenina.
Aku mengangguk. "Ambil saja yang menurutmu bagus."
"Ambil yang set?"
"Boleh."
"Oke."
Karenina memasukkan satu panci ke troli yang kupegang, lalu mengambil yang lain. Setelah kurasa cukup, aku pun mengajaknya ke kasir. Hari ini lumayan antre juga padahal bukan tanggal gajian.
Aku memandang ke bawah, iya bawah, mengingat mungilnya Karenina atau aku yang ketinggian? Entah mengapa aku merasa senang hari ini. Senang ditemani olehnya. Senang melihatnya.
"Ya Allah!" pekikku reflek saat merasakan dorongan orang di belakangku. Sambil menahan tubuhku dan tubuh Karenina agar tidak terjatuh ke depan dengan merangkulnya, aku menoleh ke belakang mencari sumbernya. Ternyata sebuah efek domino dari antrean paling belakang yang seperti terdorong oleh seseorang karena mereka semua bersungut-sungut. Begitu menatap lurus ke depan lagi, aku segera melepaskan tanganku. "Maaf. Ada yang mendorong dari belakang."
"I-iiya," katanya gugup.
Aku pun merasakan hal yang sama. Entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat. Bukan pertama kalinya berada di situasi darurat yang berurusan dengan perempuan. Tapi ini ...
Bersyukur antrean depan kami sudah kosong dan kami bisa maju, membuyarkan segala lamunanku yang berkelana ke mana-mana. Setelah membayar, aku mengajak Karenina ke salah satu restoran untuk melepas lelah.
"Terima kasih sudah mau bantu saya hari ini," ucapku setelah kami memesan makanan dan minuman.
Karenina mengangguk. "Sama-sama."
Sesaat tak ada yang bicara di antara kami. Karenina juga minta izin menjawab pesan di ponselnya. Dan melihat keseriusannya, entah mengapa membuatku ...
Astaghfirullah!
Kuusap wajahku dengan kedua tangan.
"Mas Nakula betul-betul nggak ada teman di sini?" tanyanya sambil meletakkan ponselnya lagi di atas meja.
"Eh? Nggak ada. Semua domisili di Surabaya," jawabku sambil mengingat tadinya mau tinggal di rumah Papi yang di Surabaya saja.
"Oh." Karenina manggut-manggut.
"Kalaupun ada, bukan berarti mereka bisa diajak beli panci kan?"
Mendengarku, Karenina terkekeh. "Ternyata, saya juga hari itu ada undangan resepsi nikah di Malang."
Kedua alisku naik. "Oh ya?" Kebetulan macam apa ini?
Karenina mengangguk. "Ini teman saya tadi kasih tahu. Undangan saya masih dia bawa karena kebetulan si calon pengantin menitipkan ke situ."
Aku mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil berpikir. "Acaranya jam berapa temanmu itu?"
"Malam."
"Ke Malang sendirian?" tanyaku tak percaya. Masalahnya kalau membayangkan Karenina pulang malam dari Malang ke Surabaya itu rasanya ...
Karenina mengangguk. "Ya. Menginap semalam di hotel sepertinya karena belum tahu rencana teman-teman yang lain gimana," jelasnya.
"Sama saya saja kalau gitu. Kita berangkat sabtu malam, menginap di rumah keluarga saya, paginya ikut ke akad nikah adik kembar saya dan malamnya saya antar ke resepsi temanmu itu dan setelahnya saya jemput sekalin langsung pulang. Soalnya besok saya harus kuliah," ajakku yang kupikir ini lebih efektif. Lagipula Oma Azi dan Opa Angga sepertinya menginap di Malang seminggu.
"Waduh, merepotkan Mas Nakula jadinya," sahutnya.
"Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui," kataku sembari tersenyum.
"Memang sih. Saya juga nggak perlu izin kerja juga ... tapi betul nggak apa? Kan itu saudara kembar sendiri yang menikah?"
Aku mengangguk mantap. "Kondisi tak memungkinkan. Tenang saja, mereka paham kok. Yang penting sudah setor muka."
"Boleh deh kalau Mas Nakula nggak kerepotan. Aduh, maaf ya?" Karenina mengiyakan lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan karena malu.
Ganti aku yang terkekeh.
Tbc➡
🍃🍃🍃Assalamu'alaikum semua,
Seperti yang aku bilang, mohon maaf kalau mengecewakan kalian akhir-akhir ini karena jarang update. Selain karena ada urusan juga otak beberapa hari ini nggak bisa diajak kompromi untuk menuang ide jadi tulisan. Padahal di kepala numpuk.
🙇🙇🙇
Terima kasih yang sudah dan tetap sabar membersamaiku hingga saat ini 😙
Dan terima kasih buat para pembaca baru. Selamat datang 😍
Dirgahayu KOPASSUS ke 69. Komando! 💪✊
Sidoarjo, 16-04-2021
Selamat Hari Bumi. Let's save our EARTH 🌏
Repost: Sidoarjo, 22-04-2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Le Jardin D'amour
Short StoryKumpulan cerita pendek penuh cinta dan penuh warna seperti di dalam sebuah kebun yang berisi aneka tanaman dari yang cantik sampai yang berduri. Selamat menikmati 😊 Credit cover to @elaa_rin