4.5. L'amour De Cœr

811 140 12
                                    

La Pièce Cinq
(La pies seng)

Besoknya Harsanto membawakan sarapan bubur ayam yang sama lagi untukku. Aku sendiri sudah lebih baik. Sakit kepalaku sudah jauh berkurang.

Kini kami duduk di teras rumah dengan dia memaksaku sarapan.

"Kenapa kamu berbuat sebegininya?" tanyaku setelah bubur habis.

"Karena aku peduli," jawabnya pendek.

"Untuk apa?"

"Karena aku sayang sama kamu. Aku nggak bisa menawarkan kemewahan tapi aku bisa menawarkan tanggung jawab. Dan lagi kalau kamu ingin menjadi istri Kapten Shaheer, apa kamu pikir kamu itu pantas? Menghargai orang lain bahkan dirimu sendiri saja nggak bisa, bagaimana mau menjadi istri Danki dengan banyak anggota yang harus diurus dan ayomi?"

Aku melotot mendengar ucapannya yang menohok. "Kamu!"

"Kalau kamu minimal bisa menghargai dirimu sendiri, sayang sama diri sendiri, kamu nggak akan mempermalukan diri sendiri. Nggak akan mengusik Mbak Bianca dengan menyebarkan ke semua orang bahwa Mbak Bianca merebut calonmu. Justru kamu akan introspeksi atas kekurangan dan kesalahanmu. Atau legowo menerima bahwa Kapten memilih Mbak Bianca. Dan kalau teman-temanmu itu baik, mereka akan mencegahmu berbuat buruk. Bukannya malah mendukungmu melakukan hal yang merugikanmu. Sebagian orang mungkin kasihan sama kamu tapi sebagian yang lain akan berpikir bahwa kamu memang nggak baik."

Setelah mengatakan kalimat sepanjang itu, Harsanto pamit.

Aku tidak tahu kapan aku menangis, tahu-tahu pipiku sudah terasa basah. Kuusap kasar lalu aku masuk ke dalam sembari membawa cup bubur ayam yang kosong.

Selama seharian aku lebih banyak tidur dan bengong. Harsanto juga tidak datang, hanya mengirim makan siang melalui online.

Pikiranku penuh sampai tidak tahu harus berpikir apa lagi. Hingga ...

"Halo?" Kuangkat telepon tana terlalu memperhatikan siapa yang menelepon.

"Assalamu'alaikum," sapa lelaki di seberang.

Hem? "Wa'alaikumussalam. Si ... " Kuturunkan hape dan tertera nama Harsanto. "Ada apa?" tanyaku malas dan setengah ketus.

"Sudah sholat? Sudah makan?" tanyanya seperti tak ada beban.

"Apa sih!" semburku.

"Sholat, Risa. Aku pesankan makanan. Kamu sholat sekarang!" perintahnya lalu menutup telepon.

"Apa sih, nggak jelas!" tapi tak urung kuseret kakiku ke kamar mandi juga. Tak sekedar wudu tapi juga mandi sekalian.

Rasanya segar sekali.

Keluar kamar mandi, aku segera sholat isya. Dan tepat selesai sholat, pintu rumah diketuk. Masih mengenakan mukenah, kuintip keluar. Harsanto betul-betul membelikanku makan malam.

"Ini sudah dibayar?" tanyaku setelah menerima kantong plastik dari kurir.

"Sudah, Bu," jawab kurir di depanku.

"Terima kasih ya?"

"Sama-sama. Permisi."

Begitu kurir meninggalkan rumah, aku baru menutup pintu dan menguncinya. Kuletakkan kantong makanan di atas meja ruang tamu lalu ke kamar untuk melepas mukena dan menyimpannya.

Ketika hendak meninggalkan kamar, ponselku berdering. Harsanto.

"Makasih makan malamnya," ucapku.

"Wa'alaikumussalam."

Aku menggigit bibir bawahku. "Assalamu'alaikum."

"Dimakan ya," perintah Harsanto lembut.

"Ya."

"Risa, kalau kamu mau menerima uluran tanganku, nggak sekedar ayam bakar atau bubur ayam kuberikan tapi bahagia dan tanggung jawab pasti kuberikan," kata Harsanto panjang lebar.

Aku mendengkus. "Kamu sadar nggak sih kalau kamu memaksakan perasaanmu? Nggak usah ngomongin orang deh kalau sama aja!"

Harsanto diam cukup lama. Mungkin aku menyinggungnya? Biar saja! "Risa, aku tulus sayang sama kamu. Sejak awal bertemu aku sudah suka meski aku tahu kalau kamu lebih suka rekanku. Bahkan meski kamu terpesona oleh Kapten Shaheer. Ya, mungkin sama saja. Kamu benar. Aku memaksakan perasaanku ke kamu yang juga memaksakan perasaanmu ke Kapten. Bedanya, aku tidak pernah menyalahkan keadaan bahkan sampai menyebarkan perasaanku ke semua orang. Maaf sudah mengganggu. Assalamu'alaikum."

Eh?

"Wa'alaikumussalam," balasku otomatis dan perasaanku tiba-tiba aneh dan tak nyaman.

Dia mundur? Marah? Harusnya aku senang tapi kenapa justru aku merasa tidak enak?

Kutatap bungkusan di depanku. Mataku tertuju pada tulisan tapi otakku melayang ke mana-mana.

Lalu tiba-tiba ingatanku melayang kepada ucapan Harsanto tentang teman-temanku yang dia rasa tak cukup baik.

Bukankah teman yang baik itu mendukung apapun yang kita lakukan? Salahnya di mana?

Tbc➡

🍃🍃🍃

Assalamu'alaikum,
Mbak Risa bertanya nih, salah teman-temannya di mana?

Mendekati ending kisah Risa nih. Next cerita DeNa 😎

Sidoarjo, 23-02-2021

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang