5.8. Ma Petite (Revisi)

738 196 22
                                    

La Part Huit
(La part uit)

Tanpa terasa waktu berlalu, sejak kedatangan Mami dan Papi yang tiba-tiba mengundang Karenina ke rumah, tak ada yang berubah dari hubungan kami. Apalagi aku yang sudah mulai praktek bukan sekedar teori alias sudah bertemu dengan pasien meski masih terbatas karena level awal, membuatku mulai tak ada waktu untuk hal lainnya.

Tempat tidur adalah hal yang paling kurindukan selain ngobrol dengan Karenina untuk menghilangkan penat. Menjadi seorang residen dengan status seorang polisi sekaligus bukan berarti aku menjadi orang istimewah. Seperti halnya koas, kini aku kembali ke tahap menjadi orang yang berada di level paling bawah, bahkan perawat pun masih lebih tinggi kedudukannya daripada residen apalagi koas.

Apakah tidak ada residen perempuan yang cantik? Tentu ada tapi dari sekian residen perempuan, satu orang PPDS kulit dan kelamin, dengan tampilan cukup menarik tampak menyukaiku. Masalahnya aku tidak tertarik. Aku lebih tertarik segera menyelesaikan pendidikan spesialis ini, hanya saja rasanya itu seperti sepanjang jalan kenangan.

Sebelum aku mengambil PPDS, sebetulnya Mami dan Papi sudah memberi kode untukku agar segera mengenalkan pendamping. Hal yang dikira kembaranku tak dilakukam orang tua kami. Bahkan Papi pernah akan 'menjodohkanku' secara tidak langsung dengan dalih mengenalkan putri rekannya.

Halah, dikira aku tidak bisa membaca taktik Papi? Rugi otak jeniusku turunan Mami kalau hal semudah itu aku tidak tahu.

Dia tidak cantik? Cantik. Pendidikannya tinggi? Sudah lulus magister ekonomi. Salihah? Dari penampilannya, ya. Dari empat pilihan calon istri, dia punya semua. Yang tidak ada adalah hatiku. Aku hanya beruntung Papi bukan lelaki otoriter mengingat Papi sendiri rela menunggu Mami. Bukan Mami yang menunggu seperti umumnya tapi Papi yang setia menunggu dengan cinta dalam diamnya.

Mirip Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra ya?

Sedangkan aku? Belum pernah seperti itu.

Hari ini banyak sekali yang kukerjakan dan sepertinya aku tak sanggup menyetir motor sendiri pulang ke rumah. Aku hanya bisa berucap basmallah.

"Mau bareng saja?" tawar Anggika, residen Kulit.

Aku menggeleng sambil tersenyum. "Terima kasih, nggak usah."

"Tapi kamu kelihatan capek tuh," katanya lagi.

"Masih kuat kok in syaa Allah." Aku sudah pernah merasakan yang lebih parah dari ini.

"Yakin?"

"Yakin."

"Oke deh." Anggika mengangguk tapi tetap berjalan di sampingku menuju tempat parkir.

Lalu dia menuju mobilnya di parkir dan aku menuju motorku di parkir.

Meninggalkan rumah sakit kaki ini sungguh aku perlu mengencangkan doaku agar selamat sampai rumah. Aku belum menikah untuk mati muda dan dosaku pun masih banyak.

Di tengah perjalanan, saat mataku sudah nyaris tak sanggup lagi, tiba-tiba aku melihat sosok Karenina berdiri di pinggir jalan. Tidak sendirian tapi bersama seorang teman perempuannya. Aku pun berhenti di dekat mereka.

"Assalamu'alaikum," sapaku.

"Wa'alaikumussalam," balas Karenina dan temannya serempak.

"Mbak Karen kok belum pulang?" tanyaku. Instingku bilang mereka ada masalah.

"Ini motornya mogok. Nggak tahu kenapa. Tadi sudah ada yang bantuin tapi tetap nggak bisa. Ini sudah manggil orang bengkel sih. Cuma masalahnya Karen jadi pulang sendiri," terang temannya.

Aku mengangguk paham. "Kalau gitu pulang sama saya saja."

Ketika senyum teman Karenina merekah, sebaliknya dengan Karenina yang terkejut dengan melebarkan kedua matanya.

"Eh, nggak usah. Bisa naik umum kok," tolak Karenina cepat.

"Kebetulan saya mau minta tolong juga ke Mbak Karen," kataku.

Sebelum Karenina membuka mulut, orang bengkel datang dan teman Karenina itu mendorongnya ke arahku agar ikut pulang denganku. Terpaksa Karenina setuju.

"Mas Nakula mau minta tolong apa?" tanya Karenina ragu.

Kuserahkan kunci motor padanya.

"Eh, apa ini?" tanyanya semakin terkejut.

"Tolong Mbak Karen yang nyetir motornya ya? Saya sebetulnya sudah nggak sanggup nyetir sendiri. Itu kalau nggak keberatan," akuku dengan jujur.

Karenina menatapku dalam mencari kebebaran dalam ucapanku. Ia mengangguk. "Mas Nakula memang sepertinya mau pingsan tapi nggak apa nih aku yang nyetir? Mas Nakula nggak bakalan tiba-tiba gelundung ke belakang kan?" tanyanya khawatir.

Aku menggeleng. "In syaa Allah enggak."

Karenina pun mengangguk. Aku sendiri lega. Masalah kami terselesaikan bersama.

Tbc🔜
🍃🍃🍃

Assalamu'alaikum semua...
Ada yang kangen Mas Naku?
Syawal pun dah lewat 😆

Sidoarjo, 13-06-2021

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang