La Vie de Garin #05

318 72 0
                                    

05. Versus.

Akhirnya aku ikut juga beli oleh-oleh. Bukan karena Shiro, catat ya catat, tetapi karena Mas Abhi. Apalagi Mama dan Papa juga pergi.

Di satu sisi aku senang dia pulang tapi di sisi lain aku sedih karena Mas Abhi pulang.

"Ma, Grandpa suruh aku datang," kata Mas Abhi ketika kami baru memasuki toko. Ia menggerakkan ponselnya di depan wajah.

"Ya memang seharusnya dari kemarin setor muka," sindirku. "Pergi saja naik taksi. Yang penting jangan ajak seniornya. Bahaya."

Shiro yang di depan kami langsung menoleh. Dia sangat penasaran kenapa aku melarang bertemu Grandpa.

Aku bersedekap. "Karena kamu nggak bisa bohong sama Grandpa."

Salah sendiri dari awal tengil. Coba jadi cowok baik-baik, bertemu Grandpa tetap aman sentosa. Aku nggak yakin dia bisa melewati jebakan Grandpa. Mungkin dia prajurit hebat tapi bagaimanapun Grandpa jauh lebih senior dan kenyang makan asam garam kehidupan juga pekerjaan.

"Kenapa saya harus bohong?" Shiro menunjuk dirinya sendiri.

Mas Abhi menepuk bahu seniornya. "Izin, Bang, maaf. Adek Garin benar. Bukan saya nggak mau mengenalkan pada Grandpa atau apa. Saat ini lebih aman Abang bersama mereka di sini. Nanti saya beritahu jelasnya. Saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab kami.

Shiro? Dia bengong dengan kepergian Mas Abhi yang hanya menyerahkan kunci mobil pada Papa.

"Ayo, Mas, lihat-lihat dulu," ajak Papa seraya menepuk bahunya.

"Eh, siap." Shiro mengangguk.

Kami pun berjalan dan mulai menyusuri rak-rak oleh-oleh.

"Intinya, Grandpa itu galak." Setelah berkata begitu aku berjalan mendahului untuk ikut memilih oleh-oleh Mas Abhi.

Terdengar tepukan. Mungkin Papa menepuk bahunya lagi untuk memberi pencerahan?

Ternyata Papa nggak ngomong apa-apa lagi dan kami hanya belanja. Memilih berbagai jenis makanan untuk dibawa ke Madiun. Eh, tapi Mas Abhi bakal jawab apa ya ke Grandpa? Nggak mungkin bohong juga. Kami selalu berdua, jadi aneh rasanya kalau melihat dia datang sendiri.

"Rasanya seperti mudik," komentar Shiro tiba-tiba sudah di belakangku. "Belanja oleh-oleh begini. Sayang calonnya belum ada."

"Ya cari sana!" sahutku. "Ma, ini kebanyakan nggak sih buat Mas Abhi? Jadi kayak Papa Rahil aja deh."

Mama menoleh dan tersenyum. "Iya ya. Mas Abhi pasti protes kalau kebanyakan. Mas Shiro masih lagi?"

Saat ini kami sudah mengambil entah apa saja. Bisa jadi kalau Mas Abhi keberatan bawa akan dikirim via ekspedisi.

"Kayaknya cukup ini. Sudah banyak juga," jawab Shiro.

Mama mengangguk. "Kita bayar kalau gitu. Setelah ini kita shalat terus makan malam."

Shiro mengangguk. "Siap. Abhi masih di rumah Kakeknya?"

Ganti Mama yang mengangguk. "Nggak apa-apa, kan?"

"Siap, aman, Tante."

Kami pun beriringan menuju kasir. Benar-benar rasanya seperti belanja untuk dijual lagi atau ...mudik.

Agak sedikit antre di kasir.

"You okay kalau kita makan seafood ?" tanyaku sambil menunggu antrean.

Shiro mengangkat kedua alisnya. "Oke saja. Kenapa?"

"Alergi mungkin atau nggak suka," jawabku asal. "Soalnya saya sedang ingin makan seafood."

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang