02. Liburan yang Tak Diharapkan
"Selamat sore, Adek," sapa Shiro ketika aku keluar dari kamar dan dia keluar dari kamar tamu yang di lantai atas.
Aku hanya mengangguk dan berlalu begitu saja.
Terdengar Shiro bersiul di belakangku. "Aduh, galak ternyata kembaran Abhi ini. Yang satu dingin, yang satu galak tapi kalau bersama hangat. Aneh ya kalian ini."
Kamu pikir sendiri deh!
Aku betulan kesal. Semua rencana yang kususun rapi dan ingin kulakukan bersama Mas Abhi hancur berantakan gegara dia! Bisa saja dia ikut ke mana pun kami, tapi rasanya dia seperti setan di tengah dua orang. Kan kasihan. Mau ditinggal, dia tamu. Kan menyebalkan. Padahal mumpung ada hari libur dia hari berturut-turut yang berdampingan dengan hari Minggu sehingga Mas Abhi bisa libur sedikit lebih lama.
"Kenapa ya Abhi nggak pernah cerita punya saudara kembar dan perempuan lagi," ocehnya masih di belakangku. Kali ini relatif lebih dekat dariku.
Lagian, kenapa dia nggak pulang sih? Punya rumah dan orang tua, kan?
"Atau aku yang lupa tanya, ya?" Masih Shiro yang bicara sendiri.
Aku bergegas turun agar nggak usah mendengarkan ocehannya.
Di bawah, di ruang keluarga tepatnya tampak Mas Abhi tengah bercengkrama dengan Mama dan Papa. Kukira tadi masih istirahat. Segera aku menuju tempatnya berada dan duduk di sebelahnya. Bersandar di bahunya.
"Nanti makan di luar, yok?" ajakku.
"Kalian saja. Ajak sekalian Mas Shironya keliling Malang," usul Papa yang membuatku menoleh cepat ke arahnya. "Adek lupa ya kalau ada tamu?"
Lebih tepatnya melupakan diri!
"Sore, Om, Tante," sapa Shiro.
"Duduk sini, Mas. Gabung sama kita," ajak Mama.
"Siap, terima kasih," ucap Shiro lalu duduk di sebelah Papa.
"Nanti malam kalian bertiga makan di luar saja, biar orang-orang tua ini jaga rumah. Biar Mas Shiro tahu suasana malam di Malang. Kalau orang tuanya nggak umroh, nggak bakalan kan main ke sini," kata Papa dengan nada final.
Oh, jadi sedang umroh. Tapi tetap saja sih aneh tiba-tiba Mas Abhi mengajak temannya pulang gitu.
Shiro manggut-manggut. "Wah, boleh tuh. Saya nggak pernah ke Malang."
Mas Abhi menoleh, menatapku. "Boleh?" bisiknya.
"Hem," jawabku. Terpaksa.
"Good girl." Mas Abhi mengusap kepalaku sambil tersenyum.
"Bhi, beneran deh. Kamu jangan pelit senyum gitu. Kok bisa gitu bedanya bagai bumi dan langit?" komentar Shiro yang heran itu blak-blakan.
Mama tersenyum lembut. "Cuma dua orang yang bisa membuat Abhi otomatis tersenyum."
"Siapa, Tante? Adek Garin?"
Mama mengangguk. "Satunya sepupu mereka, Bianca."
Mendengar nama Adek Bianca disebut, aku spontan menghela napas dalam. Begitu pun Mas Abhi.
"Dois-je aller à Londres ? (Haruskah aku pergi ke London?" tanyaku seraya menutup kedua mataku.
"Adek mau ke London? Pergi saja kalau itu bikin kamu lega," jawab Mas Abhi cepat.
Aku langsung duduk tegak dan balas menatapnya dengan cemberut. Di kepalaku langsung menghitung seluruh biaya yang harus kukeluarkan. "Are you kidding ? Dikira Malang-London seperti Malang-Jakarta apa? Kalau sedekat itu, Papa bisa sering berkunjung ke Paris."
KAMU SEDANG MEMBACA
Le Jardin D'amour
Short StoryKumpulan cerita pendek penuh cinta dan penuh warna seperti di dalam sebuah kebun yang berisi aneka tanaman dari yang cantik sampai yang berduri. Selamat menikmati 😊 Credit cover to @elaa_rin