2.1. Le Monde D'Abhi

2K 253 191
                                    

L'histoire Un
(Listoar ang)

Si parfois tu as du mal à avancer
Si tu te sens seul, si tu te sens paumé
Quand la nuit s'éternise, que l'obscurité t'oppresse
Même désemparé, même si tu ne sais quelle loi suivre

Ne baisse pas les bras, et ne perd pas espoir
Car Allah est toujours proche de toi

Insha Allah, insha Allah, insha Allah tu trouveras ta voie
Insha Allah, insha Allah, insha Allah tu trouveras ta voie
...

***

Namaku Karim Abhibbuti Antarikshe Pradipa. Aku kembar dan sulung dari tiga bersaudara. Saudariku Karimah Ardhya Garini Pradipa dan si bungsu Mu'izz Wira Satya Pradipa. Kami memiliki paras selayaknya keturunan campuran kaukasoid dari sisi papa yang blasteran Perancis. Meski tidak semenyolok papa, tapi siapapun tahu kalau kami anak-anaknya terutama aku dan adek Garin blasteran. Terutama dari mata hazel kami. Berapa kali pun aku mengatakan bahwa aku jiwa raga Indonesia tapi tetap saja dipandang sebagai "bule" atau "bule nyasar".

Lalu Abhibhuti Antarikshe yang bermakna Di Udara Kita Unggul dan tersemat di dalam namaku, pemberian dari Papi Sahil, salah satu adik kembar mama. Entah apa yang terlintas dalam benak papi Sahil saat itu mengingat dirinya sendiri masuk korps baret merah angkatan darat. Aku tidak menyesali justru bersyukur. Berkat papi, di sinilah aku berada.

Satu saja yang sedikit mengganjal di hatiku, ada saja yang meragukan merah putihku hanya karena kulitku putih dan mataku berwarna hazel. Jika bukan itu pasti menyamakan atau membandingkan aku dengan salah satu pahlawan revolusi, Kapten anumerta Pierre Tendean. Jiwa patriotku sama besarnya dengan beliau tapi jangan hanya lihat kami yang berdarah campuran.

Jika para lelaki terkadang iri dengan prestasi akademik dan olahragaku yang kata orang sempurna, maka para perempuan mengejarku karena fisik dan kini ... seragamku.

"Abhi, kenapa sih kamu dingin banget?" tanya April, salah satu teman dari rekanku yang asli Madiun.

Saat ini aku dan rekan-rekan lain tengah jalan-jalan di Telaga Sarangan dan tanpa sengaja bertemu April bersama teman-temannya.

Aku hanya meliriknya malas sambil meminum jeruk hangatku.

"Bhi, ngomong to?" pintanya.

Pertama aku malas, kedua dia perempuan dengan baju fit body yang melekat pas di tubuhnya. Atasan T-shirt leher turtle dengan celana skinny jeans. Jadi, bagian mana yang patut kulihat kecuali istigfar?

Baru saja April akan membuka mulut, ponselku berdering. Ada nama Bianca tertera di sana.

"Assalamu'alaikum, Adek?" sapaku. "Aku ke depan dulu ya?" pamitku pada rekan-rekan dan meninggalkan tempat makan sejenak.

"Wa'alaikumussalam. Mas Abhi apa kabar? Sehat?" Terdengar suara riang agak manja.

"Sehat, alhamdulillah. Si Adek sehat?" tanyaku mengacu pada putri kecilnya.

"Sehat sekali malah. Tuh, suka gaplokin muka om-om bujang yang gendongin dia. Mana manja banget sama mereka. Ampuuun, niru siapa sih?" omelnya rentet.

Spontan aku tertawa. "Kamu amnesia atau gimana, Dek?"

"Eh iya ya?" Lalu terdengar kekehannya.

"Dek Shaheer gimana di Lebanon?"

"Sudah mau pulang alhamdulillah. Time flies, hein? (Waktu berlalu, ya)"

Lagi-lagi penggunaan bahasa campuran Inggris-Perancis. Bicara dengan keluarganya masih suka gado-gado dan yang kasihan Shaheer, suaminya harus ikut belajar banyak kata. Aku terkekeh mendengarnya.

"Oui. Toi aussi. Ma petite Adek Bianca sudah dewasa. (Ya. Kamu juga. Si kecilku)" kataku sambil mengingat masa kecilku bertiga bersamanya, terkadang bersama Ayip, saudara angkat kami.

Segala hal tentang Bianca selalu membuatku nggak pernah berhenti tersenyum. Dia perempuan kesayanganku setelah mama dan adek Garin. Kami ngobrol sampai terdengar tangisan si kecil di seberang dan Bianca menutup sambungan teleponnya.

"Itu kamu bisa ketawa. Mukamu beda. Siapa sih? Pacar kamu?" tuntut April yang membuatku kaget tiba-tiba muncul dari belakangku.

"Subhanallah. Kamu ngikutin saya?" kesalku sambil menyimpan ponsel.

"Padahal kata Hasan kamu jomlo. Kalau memang punya pacar terus terang, Bhi!"

Hah! Pardon? Seolah aku memberinya harapan selama ini?

Saat aku hendak membuka mulut, kekagetanku kembali hadir melihat sosok yang sudah lama nggak kutemui. Bertahun-tahun malah.

"Flo?" panggilku pada perempuan hitam manis yang melintas di depanku bersama dua orang perempuan.

Perempuan itu menoleh lalu berhenti dengan mata membelalak kaget sekaligus tak yakin tapi membuatku berdebar antisipasi.

"Mas ... Abhi?"

Entah apa yang merasukiku hingga aku menarik lengan gamisnya dan sedikit menyeretnya agar mensejajariku. "Ini, Flo, calon istriku."

"Hah!" seru dua perempuan yang berbeda di dekatku itu.

Tbc ➡

🍃🍃🍃

Assalamu'alaikum semua ...

Ejeng jeng jeng ...

Kali ini cerita kedua tentang Mas Abhi. Angkat tangan yang kangen Mas Abhi 🙋? Yang pengen ceritanya Mas Abhi 🙋?

Haaaah 😥 harusnya nulis Abhi sebelum Agustus kemarin 🙈 kalau nanti settingan AUnya kurang pas mohon maaf dan kalau ada yang mau koreksi monggo 👍

Sekali lagi maaf ya pikiranku butek untuk bisa lanjut cerita yang on going. Padahal beberapa sudah ada yang mau tamat 😢🙇

Sidoarjo, 10-11-2020

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang