4.7. L'amour De Cœr

772 148 25
                                    

La Pièce Sept
(La pies set)

Sudah dua minggu berlalu. Dan dua minggu pula aku menarik diri dari pergaulan terutama gengku. Ya, aku hanya menarik diri meski rasa hati ingin menghindar. Aku ingin menata hatiku terhadap teman-teman dekatku terutama Delia. Bagaimana pun sejak masa kuliah dan menjadi dokter kami, aku dan teman-teman sudah melewati banyak hal bersama. Tidak semua adalah hal buruk. Beruntungnya tak ada satu pun di antara kami yang bekerja di rumah sakit yang sama. Sungguh itu menyelamatkanku.

Lalu dua minggu pula aku tak mendengar kabar darinya yang selalu merecokiku. Aku merasa ... hampa. Apa dia masih marah denganku?

Hari ini minggu pagi dan aku pulang dari jaga malam. Rasanya seperti surga meskipun semalam nyaris tidak tidur karena banyak kasus gawat. Aku langsung menuju mobilku yang nangkring di area parkir pegawai dan pulang.

Sampai rumah, setelah membersihkan diri aku langsung tidur hingga azan zuhur sayup-sayup masuk ke telingaku. Aku langsung bangun dengan dada berdebar. Aku seperti mendengar Harsanto membangunkanku untuk sholat zuhur.

Aku pun beranjak turun dari ranjang menuju kamar mandi. Sekalian mandi karena aku berencana untuk makan siang di luar.

Selesai mandi, aku segera sholat. Setelahnya ganti baju dan meninggalkan rumah untuk beli makan tapi di tengah jalan, aku malah bingung mau makan apa dan di mana.

Akhirnya aku memutuskan makan nasi belut dan siapa sangka yang kutemui di kedai, sedang menikmati makan siang adalah orang yang kupikirkan beberapa hari ini?

"Harsanto?" sapaku ... sedikit ragu.

Harsanto mendongak dan tersenyum. "Arisa? Mau makan?"

"Nggak! Mau nonton!" sahutku sarkas.

Harsanto tersenyum. "Duduk, duduk." Ia menunjuk kursi di depannya.

Aku pun duduk dan tak lama salah seorang pegawai datang menanyakan pesananku. Setelah mencatatnya ia kembali ke dapur untuk memesannya.

"Kamu nggak dinas?" tanyaku heran.

"Ini kan jam isoma, Ris. Masa nggak boleh makan?" jawabnya masih tersenyum.

"Oh iya," kataku pendek. Hanya saja kedai yang kami datangi ini tidak bisa dibilang jauh tapi juga tidak dekat dengan tempat dinas Harsanto. Tapi mungkin dia habis mengerjakan tugas di suatu tempat lalu mampir sekalian makan siang. Punya Papa seorang tentara membuatku paham bahwa mereka punya pekerjaan tertentu yang pastinya bersifat rahasia dan tak terprediksi. Lima menit menentukan meski aku kurang paham dengan Marinir tapi kupikir kurang lebih sama. Berbeda di objek dan tempat saja.

"Kamu sehat?" tanya Harsanto yang kalau kuperhatikan dari masih banyaknya nasi, dia juga baru datang. Baru makan.

"Alhamdulillah." Aku mengangguk. "Uhm, kamu sehat?" tanyaku sambil menggigit bibir bawahku.

Harsanto yang hendak mencocolkan belut ke sambal mendongak. Tidak repot menyembunyikan keheranannya walau hanya sekejap lalu tersenyum lebar yang membuatnya tampak menarik.

"Alhamdulillah." Ia mengangguk.

Bisa kulihat banyak pertanyaan di matanya tapi dia memilih diam dan kembali makan.

"Kamu ... kamu ehm, tumben kok nggak pernah ngerecokin aku?" tanyaku lagi-lagi sambil menggigit bibir bawahku.

Pertanyaan bodoh!

"Kangen ya?" godanya.

Aku mendengkus. Tapi ...entahlah. Ada rasa lega, bahagia dan ingin berbagi cerita tentang banyak hal padanya hanya saja rasanya lidahku kelu.

Harsanto terkekeh.

Saat nasi dan belut berikut sambalnya sudah habis bersih, nasi belutku baru datang.

"Kamu pergi aja kalau memang sudah selesai," kataku sebelum menyantap nasi belutku. Rasanya surga. Sudah lama aku tidak makan nasi belut.

Harsanto tersenyum tipis. "Kamu ngusir?"

"Kan kamu dinas."

Harsanto melirik arlojinya. "Masih bisa temani kamu sebentar."

"Terserah."

"Maaf ya aku sibuk akhir-akhir ini," ucapnya tulus padahal aku tidak butuh itu. Tapi memang terasa ada yang kurang.

"Hem," sahutku karena mulutku penuh.

"Aku harap masalahmu dan Mbak Bianca selesai," kata Harsanto.

Mengingat itu, aku langsung menghela napas. "Sudah. Alhamdulillah. Terima kasih ya," ucapku lirih.

"Buat?" tanyanya kaget.

Aku mengunyah nasi belutku dulu dan menelannya sebelum menjawab. "Semuanya. Support aku. Tahan banting ngadepin aku dan nggak bosen kasih nasehat aku."

Harsanto mengangkat kedua alisnya. "Kamu Arisa? Bukan jin?"

Mendengar godaannya aku langsung manyun. Ini yang membuatku suka kesal padanya.

Tbc ➡
🍃🍃🍃

Assalamu'alaikum, syelamat pagi...

Yok rebahan. Mbak Arisa sudah jinak 😂

Oh ya, mau tanya 😄😄😄 kalau semisal aku ngumpulin quotes terbaik dari seluruh ceritaku dan aku jadikan buku, kalian mau beli nggak? 😆

Sidoarjo, 18-03-2021

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang