La Vie de Garin #10

311 73 0
                                    

10. Bertemu Teman Lama.

Hari kedua ternyata Grandma memilih belanja bersama Yu Asmi ke pasar daripada ikut aku ke Rainbow. Sebetulnya aku merasa kecut kalau harus datang ke Rainbow Surabaya ini. Merasa dikhianati. Bisa-bisanya mereka diam, tapi setengahnya aku juga salah. Terlalu percaya.

Kan, yang paling mengecewakan itu ketika kita sudah percaya penuh tapi dikhianati. Susah kan kembali percaya? Dan mereka tahu itu.

"Sudah ada draft siapa masuk kelas apa, jam dan hari apa?" tanyaku.

Hari ini masih diisi rapat, rapat dan rapat.

"Ini pertaruhan. Mereka yang tinggal, bisa saja pergi karena sebagian juga punya jadwal di tempat lain. Bisa jadi jadwa baru dari kita membuat bentrok jadwal belajar lainnya," kataku dingin. Aku kedengaran seperti Mas Abhi jadinya.

Bagi sebagian siswa terutama dari keluarga mampu, bisa saja dan rerata mereka juga les di tempat lain untuk hal yang lain apa pun itu. Secara pendapatan jelas akan berkurang drastis. Meskipun Grandma bertujuan agar siapapun bisa belajar tetapi bagaimanapun Rainbow bukanlah lembaga non profit, nirlaba. Ada banyak pegawai yang menggantungkan hidupnya di Rainbow.

Oh, semua libur kecuali yang privat dan kelas bahasa intensif karena mengejar waktu untuk persiapan belajar ke luar negeri. Dan lagi kelas mereka tidak berpengaruh seperti yang lainnya.

"Saya ke ruangan dulu," kataku lebih formal. Entahlah, aku tiba-tiba jadi malas melihat mereka.

Tanpa menunggu respon, kubereskan barangku dan kembali ke ruangan dengan muka kecut yang nggak repot kusembunyikan. Aku nggak tahu harus percaya kepada siapa di sini. Hanya saja setelah aku meletakkan barang-barangku di meja, suasana hatiku tetap buruk. Akhirnya aku keluar lagi menuju kafe yang sejatinya kantin Rainbow.

Aku memesan cokelat panas dan black forest. Semoga cokelat bisa mengembalikan suasana hatiku menjadi lebih baik.

"Ngapain kita nongkrong ke tempat kursusan begini?" Terdengar nada meremehkan dari seorang perempuan tepat di belakangku saat aku baru saja duduk. "Kayak nggak ada tempat lain aja!"

Wow! So arrogant.

Karena penasaran siapa yang berani menghina tempatku, aku berbalik tepat saat suara maskulin menyahut. "Makanannya terutama internasional, rasanya otentik padahal chef-nya orang lokal."

Aku melihat dua orang berbeda kelamin duduk. Yang perempuan tampak asli Indonesia dan lelaki orang asing. Meski kulitnya tidak seputih orang bule umumnya , rambutnya hitam seperti Mas Abhi, Papa dan Adek Satya, matanya juga gelap. Cokelat sepertinya.

Lelaki itu melihatku, mengangguk dan tersenyum sopan sebelum duduk bersama perempuan itu.

Aku beranjak dan mendekati meja mereka. "Hello, good morning. I'm the owner, Garin. Thanks for coming here. All you can eat. My treat. Please excuse me." Aku menangkupkan kedua tanganku seraya tersenyum lalu menuju kasir. "Mbak pasangan orang asing dan Indonesia di meja situ traktiranku, jangan ditarik bayar. Apa pun mereka pilih dan kasih juga servis serta satu tambahan makanan terbaik kita," kataku sambil menunjuk meja mereka. "Pesananku tolong antar ke ruanganku ya? Merci."

"Baik, Bu." Petugas kasir mengangguk.

Aku meninggalkan kafe tanpa menoleh lagi. Kesal sekali rasanya. Memangnya perempuan itu sekaya apa menghina tempat orang?

Kelihatan sekali mereka kaget. Entah karena aku yang tiba-tiba datang dan mentraktir atau aku yang blasteran. Kadang suka heran dengan orang-orang banyak tingkah seolah anak konglomerat. Padahal biasanya yang orang kaya betulan saja bisa sederhana. Kafe Rainbow kurang estetik apa lagi? Interiornya saja hasil desainer. Kalau mau makan rasa bintang lima harga kaki lima, Rainbow salah satunya. Pas di kantong semua orang, baik lokal maupun internasional.

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang