La Vie de Garin #06

333 69 6
                                    

06. Pulang.

Pada akhirnya sebagian oleh-oleh baik milik Mas Abhi maupun Shiro dikirim via ekspedisi sebab jika dibawa sendiri terlalu banyak. Keduanya hanya membawa makanan basah saja baik semacam roti atau masakan dari Mama.

Mas Abhi dan Shiro mengambil kereta siang agar sampai Madiun dan masuk mes tak terlalu malam. Masih ada waktu istirahat cukup untuk kembali beraktivitas esok harinya.

Sudah kebiasaan Mas Abhi meski sudah pamit saat sarapan, ia tetap mendatangi kantor Papa untuk pamitan lagi secara langsung, seperti kali ini. Dan sudah menjadi kebiasaanku pula untuk ikut mengantarkan sehingga aku izin telat masuk kantor. Tidak ada meeting dan Prita sendiri tahu jika Mas Abhi pulang, artinya aku nggak akan mau ada jadwal meeting apa pun kecuali darurat.

Shiro sudah diberitahu bahwa kami akan ke kampus dulu sebelum ke stasiun sehingga tidak bertanya-tanya lagi. Sayang sekali Papa sudah nggak sekampus lagi dengan Papa Rahil yang keluar dari kampus lama setelah mengambil program doktoralnya. Tetapi keduanya kini sama-sama menjabat sebagai rektor di kampus tempat masing-masing mengabdi.

Sebetulnya bisa dibilang cukup sering aku ke kampus untuk makan siang dengan Papa. Paling tidak seminggu sekali atau dua kali.

Akhirnya kami pun sampai di kampus dan segera menemui Papa. Tentu nggak bisa langsung menemui karena setiap kali bertemu dosen dan staf lain, kami berhenti dulu untuk menyapa dan ngobrol sebentar. Dari sekian hal, yang paling nggak enak adalah semua mengira bahwa Shiro adalah calon suamiku. Menyebalkan. Hanya karena dia lelaki asing di antara kami kan nggak harus calon suami. Mana dia mengaminkan setiap perkataan mereka.

"Kok Adek Garin cemberut? Kenapa?" tanya Papa ketika akhirnya kami berada di kantornya.

"Seniornya Mas Abhi tuh!" gerutuku. Aku duduk di kursi kebesaran Papa. Malas berkumpul dengan yang lain.

Papa menoleh dengan pandangan bertanya. Sedangkan Shiro nyengir kuda sambil menggaruk belakang kepalanya yang jelas nggak gatal.

"Tadi di depan banyak yang mengira saya calon suami Adek Garin," jelas Shiro.

"Dan situ nggak mengelak malah mengaminkan. Dasar!" dumelku.

Papa menggelengkan kepalanya. "Mas Abhi sama Mas Shiro berangkat jam berapa?"

"Setelah ini. Ke sini mau pamit aja," beritahu Mas Abhi.

Papa mengangguk. "Ya sudah, fii amanillah buat kalian berdua. Nanti kabari kalau sudah sampai mes."

"Siap," sahut kedua lelaki muda di ruangan Papa ini.

"Buat Mas Shiro, jangan kapok ya main ke rumah. Lain kali nginap lagi. Kalau Adek Garin galak, mohon dimaafkan," lanjut Papa yang membuatku melotot dan Shiro terkekeh.

"Siap, nggak akan kapok kok,Om. Malah senang kalau diizinkan datang lagi," sahut Shiro lagi masih sambil nyengir. Sepertinya perlu kena sikap tobat dari Grandpa memang. Sudah dibantu lolos dari macan juga masih banyak tingkah. Dasar!

Papa manggut-manggut.

Mas Abhi mengusap sofa di sebelahnya dengan kedua tangannya. "Oke, aku pamit dulu. Papa juga mau ada meeting atau apa, kan?" Dia beranjak diikuti oleh Papa dan kami semua lalu Salim dan memeluk Papa. Bergantian dengan Shiro.

Aku menyusul berikutnya. "Aku juga balik ya, Pa. Nanti langsung ke Rainbow."

Mama pamit paling terakhir.

"Assalamu'alaikum," ucap kami serentak.

"Wa'alaikumussalam," balas Papa.

Kami pun meninggalkan kantor diantarkan oleh Papa sambil memberi beberapa wejangan seperti biasa hingga luar gedung.

Le Jardin D'amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang