43

691 45 23
                                    

Setelah membayar ongkos taksi onlinenya, Shahila mulai menyusuri sebuah bangunan yang tak begitu tinggi, hanya ada tiga tingkat dan tak selesai dibuat hingga menjadi kosong begitu saja dan banyak tumbuhan liar disekelilingnya.

Tanpa rasa takut Shahila masuk kedalam bangunan itu melihat sekelilingnya yang sepi. Shahila sempat mengecek ponselnya berkali-kali, apakah ini tempatnya atau dia salah alamat.

Shahila memberi tahu orang yang memberinya alamat bahwa dia telah sampai ditempatnya. Shahila membuang nafas kesal setelah menatap ponselnya, kemudian berjalan menuju lantai paling atas.

Sesampainya disana terlihat diujung bangunan menatap jalanan seorang lelaki dengan hoodie abu membelakangi Shahila.

"Berani juga lo nyuruh gue buat keatas." Ucap Shahila mendekatinya.

Lelaki itu menoleh dan mendapati Shahila sudah dihadapannya. Dengan mengangkat bahunya acuh lelaki itu berkata, "kalau lo bisa, kenapa gue nggak."

Shahila mendecih, "udah berani ya lo Pan."

Lelaki bernama Panji hanya tersenyum membalasnya.

"Lagian gue udah enak diam disini. Adem." Ucap Panji yang masih menikmati angin pagi menuju siang itu.

"Nemu dari mana tempat ini?" Tanya Shahila.

Panji menatap jalanan yang dari atas sana. Melihat lalu-lalang berbagai kendaraan yang melintasi jalanan dan makin siang makin padat.

"Gabut aja gue, jalan-jalan gak jelas. Eh kebetulan nemu bangunan ini. Keinget lo deh yang lagi butuh tempat kosong yang jarang dijamah orang-orang, kecuali orang macam lo." Jelas Panji membuat Shahila kembali mendecih.

"Siapa lagi nih yang jadi target?" Tanya Panji

Shahila menyeringat mengingat siapa yang akan dia hancurkan kali ini. Panji tersenyum dan mengangguk seolah tahu siapa orang itu.

"Dendam banget kayanya lo sama orang itu." Ucap Panji yang langsung disetujui Shahila.

"Senang aja buat mereka hancur. Kalau mereka berdua benar hancur nantinya, gue bakalan menjadi orang paling bahagia didunia kayanya." Ucap Shahila diakhiri tawa yang akan membuat siapapun merinding mendengarnya.

Tapi Panji tidak. Sudah biasa dia dengan tawa itu.

"Psikopat." Ucap Panji menggeleng kepalanya. "Kalau lo ditangkap gimana La?" Tanya Panji.

Shahila nampak berpikir, "ya gue gak maulah." Putusnya.

Lagi-lagi Panji menggeleng dengan jawaban Shahila. "Kalau lo masuk rumah sakit jiwa?" Tanya Panji lagi.

"Gue matiin susternya."

Bukannya merinding, Panji justru tergelak mendengar jawaban Shahila karena terdengar seperti lelucon baginya.

"Lo kira lampu dimatiin." Ucap Panji disela tawanya. "Eh, lo bilang tadi apa? Mereka?" Tanya Panji ketika tawanya mulai mereda dan teringat perkataan Shahila dia awal.

Shahila menjawab dengan anggukan.

"Maksud lo? Dia gak sendiri gitu?"

"Iyapp! Pinter lo. Dia emang gak sendiri, dan mereka berdua itu emang yang paling ingin gue habisi." Ucap Shahila.

Lagi lagi dan lagi Panji menggeleng. Selama ini tindakan Shahila memang tak pernah gagal untuk menyingkirkan orang-orang bahkan untuk menghilangkannya dan nyaris tak pernah meninggalkan jejak bahwa dia pelakunya. Jadi mereka tetap aman.

Tapi untuk kali ini, Panji tak cukup yakin akan misi mereka.

"Lo yakin?" Tanya Panji

"Harus yakin, lagi pula mereka orang yang gampang untuk dikalahkan." Ucap Shahila percaya diri. "Ah iya Pan, siapin yang lainnya juga seperti biasa." Lanjut Shahila.

My Cold Brother✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang