20

1.4K 68 1
                                    

"Bentar ada panggilan alam dulu." Ucap Putra sembari terbirit-birit menuju kamar mandi dilantai satu. Farel kembali menatap langit malam sambil menunggu Putra.

Ada rasa takut tersembunyi dihati Farel, namun itu semua berhasil tertutupi dengan semua keingin tahuan Farel. Ya demi memperbaiki semuanya harus siap apapun risikonya yang penting bertujuan untuk kebaikan.

Tak lama Putra kembali duduk disamping Farel. "Jadi gimana?" Tanya Farel to the point, sekilas Putra menatap Farel kemudian menatap rerumputan dihalaman belakang. "Yang gue tahu, cewe itu yang bikin Febby pergi." Ucap Putra yang membuat rasa penasaran Farel semakin tinggi.

"Bisa gak lo gak usah jeda-jeda gitu ceritainnya? Bikin gue tambah binggung tahu gak, bukannya makin tenang." Kesal Farel. Putra terkekeh melihat Farel.

"Oke sorry. Jadi yang gue tahu, dulu tuh cewe pengin banget jauh lo sama Febby. Gue gak tahu maksud dia tuh apaan mau jauh-jauhin Febby dari lo, yang gue tahu dia tuh pengin banget ada di posisi Febby. Tapi entahlah, gue gak tahu banyak perihal itu karena kita bertiga, gue, Ariel, sama Riri tuh cuma diceritain itu doang sama dia gak lebih. Selebihnya yaa orang tua lo sama Febby dan keluarga dianya."

Farel mengerutkan keningnya berusaha mencerna setiap penjelasan yang Putra berikan. Farel menatap rerumputan kosong, "gue tahu lo mungkin gak mudah untuk percaya sama apa yang gue bilang. Tapi jujur Rel, itu emang kenyataannya atau mungkin lebih dari itu. Gue gak tahu." Ucap Putra mengangkat bahu.

"Gimana gue bisa langsung percaya Put, selama ini aja dia begitu baik sama kita apalagi sama gue dan juga Febby." Tutur Farel. Putra setuju dengan apa kata Farel, cewe itu memang begitu baik. Tapi dia tetap manusia biasa yang hatinya bisa berubah-ubah, yang tidak akan ada yang tahu kecuali pemiliknya.

Hening menyelimuti keduanya cukup lama, sampai akhirnya Putra mengajak Farel kembali kedalam karena angin tengah malam cukup mencekam.

Farel berjalan menuju kamarnya tanpa mau kembali bergabung dengan yang lain. Febby, Riani, dan Ariel menatap punggung Farel yang terus berjalan mengabaikan ketiganya. "Kenapa?" Tanya Ariel mewakili. Putra mengangkat bahunya, "cuma butuh waktu untuk ngerti doang dia. Biasaa dia'kan emang kaya cewe" ucap Putra.

"Kok gue mikirnya Farel sengaja mancing tadi?" Ucap Febby menatap pintu kamar Farel yang tertutup. Sontak pandangan ketiganya menatap Febby dengan tatapan tak bingung. "Yaa kalian pikir aja coba, gak biasanyakan Farel gitu? Terus tadi kaya sengaja gitu pas bagian gue. Kebayang gak sih kalian? Maksudnya tuh kepikiran gak sih?" Jelas Febby setengah bingung.

"Iya juga sih Fe, baru kepikiran gue." Sahut Riani diangguki oleh Ariel. "Mungkin aja sih." Ucap Putra.

"Menurut kalian gue harus gimana? Apa gue harus bilang sekarang? Apa nanti?" Tanya Febby

"Lebih cepat sih lebih baik, lagiankan kasihan juga dia Fe. Bertahun-tahun menerka-nerka sendiri." Saran Ariel, "nah benar tuh Fe. Tumbenan lo benar Riel." Sahut Riani.

"Dahlah sekaran mening kita tidur, gak lama lagi Farel bakal baikan kok yakin deh. Masalah gimana dia bakalan tahu, cepat atau lambat bakalan pasti kebongkarkan akhirnya. Santai aja Fe, jangan terlalu buru-buru." Ucap Putra lalu meninggalkan ketiganya.

"Gak paham gue dah sumpeh!" Ariel menyisir rambutnya frustasi. "Gue ke kamarnya Farel ya." Pamit Ariel akhirnya.

Tersisa Febby dan Riani di ruang keluarga lantai dua. "Riiii gue bingung." Rengek Febby. Tangan Riani terulur mengusap bahu Febby. "Udahlah Fe, benar kata Putra. Lo ikutin aja kemana alurnya nanti. Tenang ada gue, Putra, dan Ariel yang bakalan ada buat lo." Ucap Riani tulus.

Febby memeluk Riani dan dibalas pelukan kembali, "makasiih yaa, lo emang paling ngerti deh Rii." Balas Febby. Riani mengangguk, "lagian juga kalau gak ada gue, ada Rizal kan Fe?" Goda Riani. Febby melepas pelukannya, "apaan sih Ri, bawa-bawa Rizal segala." Ucap Febby.

"Hmmmmm. Terus kenapa makin nempel aja sih tiap hari? Kenapa coba?" Riani kembali menggoda. "Y-yaa.. yaa maklum aja sih, orang kita semeja juga gimana sih." Febby mulai salah tingkah, "masaaa?" Tanya Riani seakan belum puas dengan jawaban Febby. "Ish tahu ah, dahlah gue mau tidur." Febby berjalan meninggalkan Riani. "Yaudah sih gak usah salting gitu HAHAHA" Riani terlihat puas. "SIAPA JUGA YANG SALTING!"

-

Dikamarnya Rizal berbaring diatas tempat tidurnya sesekali menghela nafas. Hembusan nafasnya terdengar lelah dan bingung. "Gak mungkinkan gue bilang langsung? Yang ada gue diamuk lagi." Ucap Rizal sambil memainkan gantungan bunga yang sengaja dibeli samaan dengan gadis itu.

Rizal mengubah posisinya menjadi duduk, "kayanya gue harus ngasih petunjuk deh." Ucap Rizal kemudian berjalan menuju meja belajarnya. Rizal memasangkan gantungan itu ditas yang biasa dipakainya ke sekolah. "Mantap! Semoga aja dia gak benci gue."

Pintu kamar Rizal terbuka tanpa aba-aba menampilkan pria paruh baya. "Kalau mau masuk boleh ketuk pintu dulu?" Tanya Rizal sarkas, entah mengapa rasanya Rizal enggan untuk menghormati pria yang selalu dibanggakannya dulu yang sering dia panggil Papa. "Boleh papa bicara?" Tanyanya, "aku mau tidur, lagian apa yang mau dibicarain?" Balas Rizal tanpa menatap Papanya. "Ya sudah, biar besok aja." Putus Papa Rizal.

Pintu kamar Rizal kembali tertutup rapat, Rizal menjatuhkan tubuhnya ditempat tidur. Tak bisa dipungkiri jika rasa sayangnya terhadap sang papa masih ada, namun entahlah Rizal terlalu enggan mengakuinya. Mengingat perlakuan sang papa kepada dua wanita yang sangat dia sayangin.

Rizal memejamkan matanya, menghela nafas berharap mendapatkan ketenangan. "Semoga setelah ini, semua bakal membaik. Keluarga, dan antara gue dan dia" ucap Rizal. Tak lama Rizal pun terlelap.

-

Memaksakan imajinasi memang tak baik ya

Dikit kan jadinya hmmmmmmm

My Cold Brother✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang