15. Prakata Sang Wulan

275 85 16
                                    

maaf baru update :(
lagi sibuk sama tugas

“Aku akan membawanya ke UKS sebagai pertanggung jawaban

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Aku akan membawanya ke UKS sebagai pertanggung jawaban.”

Masih dengan rasa khawatir, Sena tanpa pikir panjang segera meletakkan daksa taruni di pelukannya. Membopong atma gadis cantik jelita yang masih tak sadarkan diri, menuju ruang Usaha Kesehatan Sekolah. 

Aroma gangsi sanitasi itu merangsek penghidu siapapun yang berkunjung, terkecuali pada seseorang yang masih berbaring junjung. Gadis dengan surai panjang brownies itu masih mengatupkan kedua bola matanya, enggan tersadar walau sudah diberi wewangian di penghidunya.

“Ini teh adiknya Pak Jefan...” ungkap wanita bernotasi duapuluhan. Sedangkan netranya jua bereksistensi pada Nawangga yang menjulang di tepi kasur. 

Senapati yang mendengar ungkapan dari sang Wanita dengan penutup kepala berwarna krem itu mendongak. Kedua iris matanya seakan meminta kelanjutan lebih rinci secara cepak. “Adiknya Pak Jefan...?” tanyanya sangsi, sambil mengerutkan alis legam tebalnya.

Mengangguk tanpa jeda. “Iya, neng Wulan yang lulus tahun kemarin,” larik jawabnya.

Nawangga tampak berpikir, kedua jelaga kelamnya berarak ke sana kemari laiknya gugusan awan.

Selama ia menimba ilmu hampir tiga warsa, mengapa Sena tak tahu jika Wulan adalah adik Pak Jefan? Namun sang Gandhi agaknya maklum kini, lantaran ia bukan termasuk social butterfly, Sena lebih suka menyendiri. 

Pada waktu-waktu memutar fragmen pikiran, indra penglihat milik seseorang yang lain nampak menyesuaikan intensitas cahaya pada kubikel bersuhu duapuluh derajat. 

“Sshh, aduh...” rintihnya sembari menyentuh jemala.

Teruni dengan kelahiran warsa yang lebih tua, berusaha menelaah situasi yang didapatinya. Padahal perasaannya tadi, ia sedang berjalan di dekat tribun lantaran tersesat. Sang Gadis hendaknya menuju ruang para Widyaiswara untuk bertemu dengan sang Kakak. Alih-alih bersua berselip anjangsana, Wulan justru mendapat denyut nyeri yang menjalar secara acak hingga gelap gulita.

Nona adiwarna itu jua berpikir, mengapa saat ia sudah lulus, tempatnya menimba ilmu itu menjadi bagus? Wulan, ‘kan jadi kesal dan kelimpungan akan perombakan denah sekolah.

“Kamu tidak apa-apa?” ayat tanya dari ranum tipis merah merona itu bersuara. Menatap khawatir taruni yang masih berbaring tidak berdaya. Senapati berlutut sembari melongokkan dekat wajah tampannya, membuat Wulan susah untuk recaka.

Menganggukkan sirah patah-patah, sekarang bola mata beningnya melebar singgah. “G-gue nggak pa-pa...” jawabnya tersendat. 

“Maaf, ya... saya tadi tidak sengaja mengenai kepala kakak.”

Lelaki bahuwarna ini sepertinya belum menyadari, bahwa posisinya ini terlalu rinci. Bahkan wanita yang bertugas untuk menjaga, kini sudah hirap oleh pandangan mata. Seolah hanya ada mereka berdua di dalam sana.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang