41. Gelombang Asa Mereka

180 52 28
                                    

Jangan lupa vomment dan
aku sarankan kalian baca
-nya dengan penghayatan

Selingkup hati nurani tak mampu memurupkan seberkas lentera malam di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selingkup hati nurani tak mampu memurupkan seberkas lentera malam di sana. Padam, suram, hanya dengan satu bias yang nampak kelam hingga ingin merunyam. Pantas ia tak dapat seutas wicara saja, lantaran sebait klausa pun tiada bisa ia maklumatkan dengan sederhana.

Sudah berhari-hari semenjak kehilangan jejak nona Ayu, Sena nampaknya sudah tahu menahu. Ia kalang kabut, saat ponselnya mendapat hunjaman banyak balon teks dari Jenandra dan mantan tepatan jiwanya--Arum Sandhyakala.

Pada saat itu, Sena langsung bergegas gegabah menuju hunian empat tiang satu atap milik Keluarga Pratama, dan memumbulkan banyak larik tanya kepada si sulung dari dua bersaudara. Bertanya bagaimana bisa Ayudisa bisa kabur dari rumah, saat kapan, dan kronologi lain yang ingin ia dengarkan melalui rungunya itu. Ia pun jua ingin membantu mereka tuk mencari jejak taruni tersebut, hingga menemukan presensi kesayangannya.

Kebetulan saja sangkala pangeran tanpa duaja kebanggan Keluarga Gandhi menuju wisma milik tunangannya, ada sepupu Sena jua berada di sana. Pun dihadiahi tatapan tajam oleh beberapa manik mata dalam kubikel ruang tamu. Atmosfer mendadak tegang dan senyap, suasana mencekam, pula dengan balasan singkat yang sejujurnya... ingin diacuhkan oleh teman semasa kecil dari Ayudisa itu.

"Lo cari Ayudisa sekarang? Baru nyadar dia kabur? Lo kemana aja selama ini? Sibuk berduaan sama Wulan-Wulan itu? Telat!" hardik pangkas dari sang Satya sembari terduduk di samping Pratama. Keduanya berusaha untuk melacak posisi Ayudisa untuk ditemukan sesegera mungkin.

Netranya menatap dengan sebersit rasa amarah dan cua pada saudaranya itu. Ke mana saja Sena saat dibutuhkan? Bahkan Pratama pun enggan melirik walau hanya sejemang. Terlalu membuang waktu untuk sekedar meladeni lelaki itu. Lebih baik ia menyibukkan diri dengan melacak posisi adik tercintanya itu.

Sena mendadak rikuh dan malu akan perbuatannya sendiri. Bertandang saat genting seperti ini saja. Namun yang lalu-lalu? Huh... ia sungguhan tak becus bilamana menjadi seorang pendamping hidup hingga mereka menua bersama. Pantas saja, Ayudisa tidak tahan akan sikapnya yang terlalu acuh itu.

Dan kini, pada seluas petak ruang pribadinya, ia menarik engsel pintu kamar. Dirinya melangkahkan tumitnya dengan hati-hati tuk mendekat kepada sang ibunda yang sedang berada di ruang keluarga, bersama sang pengemban tanggung jawab. Panas dingin sudah daksanya. Dihinggapi banyak perasaan bersalah tuk meminta pangestu sekali lagi dengan sebuah afirmasi yang kuat.

Setibanya Sena di dekat sofa ruang keluarga, ia masih berdiri menjulang di samping mereka. Mustakanya tertunduk dengan lidah yang membasahi permukaan labia meronanya, yang mendadak mengering dengan sendirinya. Embusan ekspirasi yang dilakukan, entah hingga kapan terus terlaksana tanpa sebuah pengucapan kata-kata.

Kini Sena meneguk salivanya yang serat dan memulai aksinya, tuk menyuarakan isi hati yang selama ini mengacau di labirin otak Nawangga. "Bunda, Ayah..."

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang