Aram temaram pada kanvas jumantara sudah di depan mata. Sabitah yang tersebar abstrak kian berkelap-kelip di angkasa. Jarum jam telak merujuk pada notasi enam kurang seperempat, pun kedua raga manusia telah sampai dengan selamat. Tungkainya menapak pada bumi raya, lekas berucap terima kasih pada sang Satya.
“Jenan, makasih, ya,” ranumnya beraksara. Menyimpulkan sungging sabit pada kurvanya.
Sebelum sang Puan benar-benar beranjak darinya. Pemuda itu menarik tas berwarna tosca secepat kilat. “Eit, tidak semudah itu jubaedah...”
Ayudisa memutar bola matanya sekilas. Memutar daksa semampainya dan menghela napas. “Apa lagi...?” ujarnya malas.
Hastanya terangkat, lantas jari jemarinya mengetuk sesaat. “Helm gue balikin dulu, lah. Masa masih lo pakai gitu sampai ke rumah?”
Wanodya dengan surai-surai kecoklatannya itu terhenyak. Terkekeh sejenak saat menyadari alat pelindung itu masih bertengger layak. “Ok, thanks, Jen.”
Sepetak demi sepetak ia rajut. Terloncat-loncat kecil seperti tengah bergembira tanpa rasa takut. Berkat pemuda Bahari, Ayudisa jadi tidak pulang sendiri lagi.
“Assalamualaikum, adek pulang!”
Kedua benih pun menyipit bersamaan dengan kedua alisnya. Menatap heran pada ruang tamu yang tidak sepi seperti biasanya. Sang Ibunda yang sudah kembali ke rumah pun menyuruh anaknya untuk terduduk di sofa.
Teruni cantik ini masih tengak rupanya. Bingung dengan keadaan yang sama sekali tak pernah singgah di benaknya.
“Adek habis ini mandi, terus dandan yang cantik, ya?” Ibunya merakit kata dari ranum manisnya.
“Emang ada apa, sih, Ma?” tanyanya bingung. Menatap bergantian pada dua raga di samping dan di seberangnya. Ia bahkan tidak mengerti situasi macam apa yang dihadapinya.
Wanita bersahaja itu masih memertahankan candra sabit di sana. Seolah berkata pada netra indahnya, nanti kamu akan tahu sendiri...
Selepas itu dia menuruti titahnya. Menaiki anak tangga dengan perlahan di sana. Berpegangan pada besi yang tertancap tangguh itu, sambil mengendikkan kedua bahu.
Sedangkan daksa yang masih terdiam di tempat, netranya menyapu pada kubikel yang indah terawat. Acap kali ia mengembuskan napas, ketika teringat sebuah klausa yang pernah terlontar dari bibir wanita yang ia sayang.
Pemuda bersurai legam ini, sebenarnya sudah berada di sini lima belas menit sebelum kedatangan Ayudisa. Sang Aditama dengan cakap cerdasnya itu cepat-cepat menuju ke rumahnya. Laiknya sebuah gerik tangkas dari apa yang dilihatnya pada swastamita.
“Diminum dulu...”
Lelaki dengan kaus putih bergaris dan terlapis oleh jaket biru pun lantas mengangguk segan. Mengambil secangkir cairan coklat transparan hingga tersisa dua per tiga bagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ii. Sebait Klausa | Sunghoon
Fanfiction❝ sumbu langit seperti kisah kita, tak akan habis pun jua rencana. reluk dua lakon asmaradahana, yang terhentak rasa kapuranta, bak pinarnya hilang seisi butala. ❞ ✧ ft. 박성훈 ENHYPEN ⊹ ☽ and millenials ⚠️16+ [...