"Nggak! Nggak boleh!"
Perkataan itu sukses membuat nona di hadapannya merengut sedih. Senyum cengir di bibirnya lambat laun menurun mengikuti tarik gravitasi bumi. Ayudisa benar-benar terdayuh akan ucapan kakak tersayangnya itu.
"Kenapa sih? Adek juga udah gede. Bisa jaga diri sendiri. Lagian Disa 'kan sama Arum ke sananya bareng, jadi nggak bakal sendirian," sergah dari ranumnya menyeruak pada ruang tamu esok hari menjelang dahina rawi melambaikan pesan selamat siang.
Mendengus sesaat. Embusan napas dari penghidu bangir sang lelaki menguar entah sudah yang ke berapa kali. Hastanya gandewa pinentang, terkacak pada pinggang miliknya. Sedangkan pilau sanubarinya bergejolak tidak tenang menatap telaga bening manik elok dewi cantik kesayangannya.
"Sekali nggak, ya nggak! Kamu tahu nggak sih, dek? Jawa Barat ke Jawa Timur, nggak sedekat yang kamu pikirin. Memangnya nanti kalian ke sana pakai transportasi apa? Memangnya Arum juga sudah dikasih izin sama orang tuanya?" cerocos tanpa henti ia maklumatkan sahih. Membawa segala purbasangka tanpa ladung di kemudian hari sebab terus menyergah selaksa. Lelaki itu hampir panas kepul pikiran, lantaran gadisnya terus menerus membantah meminta pangestu kepada terakhirnya.
Senyapnya belum padam. Berada di ruang tamu, yang mana hanya ada Si Kembar saja tanpa kedua orang tua, mereka saling berselisih. Bersilat lidah tentang perbedaan konklusi dan sergah kata tanpa mau sumarah. Bahkan tanpa laras, menimbulkan lawai memberontak berjibaku Ayudisa Putri. Langkahnya beralih dari sana, meninggalkan sang kakak yang mustaka batu sama seperti dirinya, menuju keluar rumah. Ia butuh refresh otak, hati, dan apapun yang berkaitan dengan dirinya. Ia sudah letih semesta, apalagi dengan Senapati yang tidak memberi satu warta kepada calon pedusi.
"Terserah kakak!"
Ucapan itu berakhir dengan wanodya penuh sebal menyekik pikiran, menuju ke pelataran hunian. Dirinya tidak lantas terduduk di sudut rumah yang biasanya akan menjadi persinggahan terakhir sangkala ingin berdiam diri, menyegarkan fragmen kata mengepul sembari menatap hewani Koi-koi menggemaskan. Betis jenjang seputih susu sudah teralaskan selop sahaja memijaki bantala bumi raya berdentum-dentum suara. Mungkin jika ini adalah kubikel tertutup, bahana tapak kaki akan berubah menjadi resonansi kulminasi.
"Widihh, siang-siang dah suntuk aja nih mukanya. Napa sih, lo?" Suara berat canda tawa berhasil memasuki rongga rungu, kala hasta seseorang tengah menghasilkan beberapa buih gelembung bias laksana benang raja pada antariksa, mendapati seberinda sepertetanggaan mengiring langkahnya menuju kemari. Tiada lupa kepada jahilnya durja taruna nol dua yang selalu membuat Ayudisa naik darah lagi.
"Berisik! Diem, deh!" ceplosnya.
Ia memberi laser tajam sulut amarah kepada orang yang tak seharusnya. Ia sebal, namun butuh pelampiasan untuk meredamkan rasa yang telah menggelora ini. Langkahnya pun terus melewati beberapa empat tiang satu atap berbentuk wisma para tetangga. Adiratna itu sebenarnya entah ingin menuju ke arah mana. Tapi yang jelas, ia butuh meredamkan perasaan yang mendobrak jantung ingin memaki siapa saja yang ditemuinya. Termasuk...
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ii. Sebait Klausa | Sunghoon
Fanfiction❝ sumbu langit seperti kisah kita, tak akan habis pun jua rencana. reluk dua lakon asmaradahana, yang terhentak rasa kapuranta, bak pinarnya hilang seisi butala. ❞ ✧ ft. 박성훈 ENHYPEN ⊹ ☽ and millenials ⚠️16+ [...