36. Maaf dan Terima Kasih

212 47 44
                                    

"Kamu bercanda 'kan?" tegasnya sekali lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu bercanda 'kan?" tegasnya sekali lagi. Langkah jenjang miliknya mendekat kepada jaka tersebut dan berusaha tuk mencari kebohongan dari netra jelaga kelamnya.

Menggeleng lemah. Netranya bersitemu dengan nayanika lokawigna yang acapkali membuatnya terikat jerat. "Aku serius Ayudisa. Kemarin malam saat Kak Wulan selesai diperiksa dan dipindahkan ke rawat inap, dokter bilang bahwa Kak Wulan--"

"CUKUP! AKU NGGAK MAU DENGAR LAGI!" pungkasnya dengan erangan.

Bahunya naik turun oleh amarah membara di sela-sela rongga dadanya. Birama jantungnya betulan tidak waras mendengar si Senapati berujar penuh jelas dan terbilang jujur di hadapan ia. Tangannya merasakan pedih, sama seperti hatinya ikut tergelobak luka disebabkan oleh si bahuwarna. Telapak tangannya langsung kebas seketika sangkala berhasil melayangkan satu amukan di pipi kanan Nawangga.

"Jadi, sudah sejauh itu hubungan kalian? Iya?! With benefits?" ia menerka-nerkanya. Walau ia sendiri grahita perihal ucapan selip dari Nawangga. Sedangkan lawan bicara yang seringkali membuatnya merasakan pedih di dalam bilik kalbu pun terdiam membisu sembari menunduk dan menelan saliva. "Uh, wow... aku nggak pernah expect kamu bakal berlaku sejauh itu sama Kak Wulan di saat kamu punya tunangan?" lanjutnya dengan nada pongah dan tidak bersahabat.

Menggeleng-gelengkan sirahnya hingga beberapa surai ikut mengalun ayun temayun."Wow... just wow... kamu memang benar lelaki yang tidak bisa dipercaya ya, Sena..." Ayudisa berucap dengan warna suara yang tidak ia percaya. Menatapnya penuh candala tak sangka akan anak Pak Gandhi, sungguhan melakukan hal tercela itu saat belum memiliki jalinan benang merah sahih bernama pernikahan.

Mendecih dan tertawa sumbang selepas ia menjauhkan diri lagi dari hadapan Senapati. "Sekali brengsek akan terus brengsek ya, Sen," ujarnya penuh ratapan candala terhadap tunangannya--ralat, mantan tunangan untuk sekarang.

Kepedihan itu akan terus membekas hingga entah kapan, perasaan tersebut selalu menghantui Sena maupun Ayudisa sendiri. Di saat mereka hampir mendekat pada hari atau acara penting dan sakral pada hidup kedua mempelai, bahala dan anca selalu bertandang tanpa aba-aba. Menyisakan kenang ilu terpatri kuat-kuat di dalam sanubari sang kirana, dengan isakan penuh racau memenuhi rongga kepal titik kehidupannya.

Pada naungan jumantara, pusat Ibukota Jakarta. Ada banyak sekali serabut-serabut yang menjadi gumpalan kelabu yang hampir menetes basah mengguyur ranah janabijana. Kepada pagi hari yang tak nampak sebulat rawi kemegahan sinarnya, justru ditampilkan oleh pekat mega berwarna biru kelabu laksana rundung hati sang wanodya. Dikisahkan lakon sebagai penuh bencana terhadap benang merah keduanya. Terjalin, namun penuh sukar tanpa dipahami satu insan pun terhadapnya.

Kini hasta Ayudisa yang sedari tadi mengepal erat, mulai mengendur. Jari-jemari yang terasa kebas sebab terlalu erat mengepalkan karantala, lekas mengudara dengan bergetar. Ia menjulurkan hasta di hadapan Sena penaka memberi sebuah utas selamat terhadap dirinya. Sena sebelumnya tengak nan pilon, tapi tetap ia jabat entah apa ajun dari taruni tersebut.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang