45. Kita Bersua Kembali

210 54 55
                                    

Senjakala masih setia menaungi para insan manusia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senjakala masih setia menaungi para insan manusia. Bulatnya yang memancarkan cahaya redup samar berwarna jingga di kanvas bumantara. Terlihat elok dengan semburat biru bersenyawa padu, menampilkan lembayung senja yang kirana dipandang kedua netra indahmu. Terkesan tenang, mampu membuat seseorang yang memandang sapuan lembut pada dirgantara bumi, terkecoh dengan keindahan milik tata surya alam semesta yang tiada tara. Ingin pula menggenggam sebatang kuas dan memberi noktah warna dengan lukisan wajah ayu sang tepatan jiwa.

Lelaki muda berasmakan Nawangga Senapati Gandhi yang berstatus calon mahasiswa baru di jurusan manajemen, yang jua kerapkali disapa dengan sebutan Sena pun kali ini menatap nanar kolom pribadinya dengan Ayudisa. Bertanya di mana keberadaan sang puan, namun tidak kunjung dibalas. Semarah itu kah sang gadis kepada dirinya seorang?

Ia menghela napas seperkian detik kemudian, arkian pemuda Gandhi tersebut diinterupsi oleh suara tapak kaki dari sang ibunda yang ikut meletakkan daksanya pada sandaran sofa empuk. Puan yang masih terlihat penuh afsun dan antun, mengembuskan recakanya lembut menerpa udara dan memandang putra semata wayangnya dengan oniks permata berpancar dari manik sang wanita.

Pukul-pukul hendak memasuki nuansa maghrib, ada raga bugar yang ingin menanyakan berbagai kata. Beliau pun lanjar membuka bibir dan angkat suara tuk mengawali konversasinya."Jadi gimana? Kamu betulan mau menikahi Wulan sepupumu sendiri?"

Lelaki awang-gemawang itu pun kontan menolehkan derajat kepalanya ke arah samping kanan dan hanya mampu terbungkam tanpa terkelit sepatah kata dua kata. Lantas sirahnya kembali ke tempat semula dan menunduk menatap layar ponsel yang telah menggelap padam, seperti gambaran suasana hatinya tanpa afeksi bunga-bunga nona Ayudisa. Hampa, terasa kosong tanpa kehadiran adiratna yang mampu memporakporandakan isi hatinya.

"Sena nggak tau bunda... Sena bingung," balas tiada buntara terlampir dari bibirnya usai tercekat di tenggorokan. Ia menjawab setelah ada ruang jeda di antara percakapan manusia yang dipayungi oleh rona senjakala. Hastanya mengusak dengan gerakan menarik rambutnya yang sekelam tinta itu dengan lanjar.

"Gini aja..." Daksanya mempertipis aksa di antara keduanya, membuat percakapan menjadi lebih intens dengan sebuah purbasangka dan pertanyaan terkait dua nona kepada Nawangga.

"Perasan kamu ke Wulan gimana sekarang?" tanya ibundanya sambil menghadapkan tubuh sang putra sepenuhnya bereksistensi kepada tetua. Maniknya menatap wanita adiratna itu dengan titik netra yang terus berfokus. "Tapi bunda harap, kakak nggak bertindak gegabah dengan menikahi sepupu sendiri, walau terbilang tiri. Kakak nggak mau 'kan, mengecewakan mendiang nenek dengan Sena yang justru nggak mau menjalankan wasiat beliau untuk menikahi Ayudisa?" Membuat Sena membidik atensi benihnya lagi dan terbungkam kembali.

Ini terlalu krusial, semesta. Rumit.

Sena terus mengejar tapak kaki nona Ayu dengan langkah tertatih-tatih dan penuh luka perjuangan, namun di sisi lain ia butuh jawaban dari Wulan perihal 'Mau atau tidaknya sang wanita akan menerima ia sebagai pendamping hidupnya hanya untuk sekali hidup saja'

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang