jangan lupa masukkin
ke perpustakaan, ya-!♡Rajut betis yang menapak pada bantala. Diisi seruan kidung melodi dari burung merpati angkasa raya. Tak lupa jua kepada sang Raja pagi yang menyinari dunia.
Para sukma-sukma bernyawa yang sudah segar atmanya. Melangkahkan kaki hendak menuju masuk ke ruang kelasnya. Menjejalkan tungkai dengan semangat yang berupa-rupa. Semangat tak terkendali atau tidak sama sekali.
Kubikel beraroma pusparagam merangsek pada penghidunya. Ditariknya napas sesaat, lalu diembuskan bersama kelopak netra yang ikut terbuka.
“Hmm... bau mie goreng...” celetuk Damar, seraya berjalan menuju bangku kayunya. Hastanya mengait sebilah bahu tas berwarna hitam dengan sekali hempasan.
Bruk!
Aksa yang baru saja menenggak tirta bening dari botol, langsung tersedak kaget mendengar debumannya.
“Astaga, Mar! Lo bawa bom ya di tas, lo?” ia berkata-kata, usai menghadapkan daksa pada bangku belakang. Kedua indra penglihatannya melebar pula.
Teman sebaya Aksa merotasikan manik sempitnya. Ia merasa jengah akan temannya yang satu itu. Bagi seorang anak adam berasma Gentala, Aksa selalu terkesan berlebihan dan dibuat-buat. Hal itu membuat Damar enggan menjawab konstelasi duapuluh tujuh abjad.
“Nggak, bawa rumah, gue.”
Ketika melihat daksa taruna, Damar jadi keki sendiri. Sebab kemarin saat Damar hendak pulang ke rumah, Aksa terus mengajak sang Gentala aktif berwicara. Dia memilih tuk pulang bersama, lantaran sang Kakak tiada bisa menjemputnya. Alhasil, Yeremia Damar yang disingkat menjadi Yedam itu mengangguk pasrah.
Bukannya dilalui tenang pada pinar aram temaram pusat kota. Aksa terus mengajak obrol panjang laksana gerbong kereta. Yang mana membuat sang Lelaki tak bisa fokus pada ramainya adimarga. Terperosok lah mereka di dekat selokan, sehingga luka-luka di tangan menjadi korban Gentala.
“Dih, ngambek, lo?” tanya Aksa sambil menyinyir.
Menelungkupkan kepala di atas meja, seusai menusuk tatap tajam netra jelaga.
Dasar, gak tau terima kasih, kesal batin Yeremia.
Dentang-denting notasi waktu terus berjalan. Sedangkan kedua anak adam dan satu tuan putri tengah melakukan rutinitas. Mereka sibuk membersihkan rupa-rupa partikel debu hingga menuntas.
“Dik, mau ke mana?!” seru sang Wanodya. Ayudisa kini sedang menjeda sebentar aktivitasnya, dengan se-gagang sapu digenggaman karantala.
Handika menengok ke belakang. Derajat tubuhnya berputar untuk menatap seseorang. “Mau beli minum dulu, Neng,” begitu ujarnya. Pun daksanya hendak berlalu selincam, tuk keluar dari sepetak kubikel XII MIPA 2.
Sebelum benar-benar pergi, taruna tampan nan menawan yang masih mengenakan jaket itu tertarik ke belakang. Yang mana Diajeng Arum berduaja wakil pun berkata-kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ii. Sebait Klausa | Sunghoon
Fanfiction❝ sumbu langit seperti kisah kita, tak akan habis pun jua rencana. reluk dua lakon asmaradahana, yang terhentak rasa kapuranta, bak pinarnya hilang seisi butala. ❞ ✧ ft. 박성훈 ENHYPEN ⊹ ☽ and millenials ⚠️16+ [...