"Nikahin gue."
Seutas kalimat dengan dasa abjad yang meluncur dari pigura, bagai dawai empuk tepat sasaran kepada anak semata wayang paripurna.
Ia yang sedari tadi terduduk sejenak di dekat bangku sofa empuk beralaskan bulu-bulu rasfur pada ubin ruang tamu, mendadak daksa tegapnya menegang. Sena terlalu terperangah akan ucapan dari wanita bulan yang sedang berbadan dua itu.
Kepalanya tertoleh sejemang dengan obsidiannya dibiarkan membola secara spontan. "M-menikahi Kak Wulan?" tanya si jaka dengan mengulangi prakata. Agak tergagap pada bilah labianya yang sedari tadi mengatup atau maniknya yang melamun buram.
Mengangguk santai dengan suapan mangga muda yang dinikmatinya, ia menyandarkan daksanya di atas sofa sambil menjawab rangkaian aksara. "Iya lah. Lo yang udah bikin gue begini. Semua yang udah dilakuin, harus ada tanggung jawabnya," balas wanita modis itu tanpa beban. Seolah ringan penaka hamburan kapas yang menghiasi langit kota.
Sena menunduk dan berpikir kembali.
Benarkah, hanya dengan mempertemukan kedua ranum mereka masing-masing... bisa membuahkan suatu kehidupan baru?
Bukankah itu tidak rasional? Sungguh tak masuk akal.
Ia yang semula terduduk di bawah sofa, daksanya terangkat hingga menyanding wanita ayu tersebut. Memandang lekat penuh selidik akan pertanyaan yang selama ini ingin ia haturkan pada konversasi mereka berdua.
"Kenapa lihatin gue kaya gitu, sih?" tanya Wulan sambil terkekeh kecil, saat dirinya merasa risih ditatap sebegitu intensnya. Lalu melanjutkan aktivitas melahap buah asam di genggaman.
Menggeleng cepat dan memalingkan pandangannya. Kini, tertuju kepada garba mungil yang sedikit membuncit sebab Wulan hanya mengenakan busana minim yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Obsidiannya menjerat pada perut sang wanita, apakah benar di dalam sana ada sebuah kehidupan?
Atau... hanya tipuan belaka saja?
Lengkungan kurva yang dilukiskan indah pada kanvas arum puan kusuma, pada akhirnya menghela napas pelan seraya tersenyum menatap Sena--yang ia harapkan menjadi pendamping hidup selamanya--lantas menggenggam hasta kekar milik Nawangga. "Kenapa? Lo mau sapa dia?" tanyanya sambil terkekeh, saat melihat Sena yang langsung mengalihkan bola mata. "Sapa aja, siniin tangan lo..."
Arkian, secara spontan si pangeran dari ranah Batavia, membolakan netra kaku. Karantala lentik adik dari Jefantara Sangga Bumi itu meletakkan sebilah tangan berurat di atas perutnya dengan senyuman mekar di sudut ranumnya. Wulan nampak bahagia sekali saat Sena seakan menyapa janinnya yang masih trimester satu tersebut.
"I-ini beneran ada janinnya?"
Tergelak. "Ya ada dong, ganteng..." jawabnya kemudian sembari mencubit kecil pipi Sena yang seputih susu. "Gue sering mual loh ya, masa iya gue cuma masuk angin doang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ii. Sebait Klausa | Sunghoon
Fanfiction❝ sumbu langit seperti kisah kita, tak akan habis pun jua rencana. reluk dua lakon asmaradahana, yang terhentak rasa kapuranta, bak pinarnya hilang seisi butala. ❞ ✧ ft. 박성훈 ENHYPEN ⊹ ☽ and millenials ⚠️16+ [...