18. Satu Kata, Wanita

265 73 40
                                    

“Deeeeeeek!” Bahana memekakkan pendengaran langsung menginvasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Deeeeeeek!” Bahana memekakkan pendengaran langsung menginvasi. Membuat lawan bicaranya tergopoh menghampiri.

   
“Apaaaaa?” tanyanya di depan kubikel.

“Bantuin kakak, Dek.”

Ia menolehkan jemala, bersitemu dengan eksistensi sang Tuan yang tengah berkutat benda perseginya. Sedangkan lengan daksina dan jemari kekarnya tertahan di udara.

Nona adiratna ini tentu saja memutar bola matanya malas. Semenjak sang Kakak berkata demikian, Ayudisa mengembuskan napasnya keras. 

“Minta tolong cuciin baju kakak...” begitu rakit aksara dari ranum tipis milik Adipati. Yang mana manik jelaga belum terputus dari gawai hingga saat ini. 

“Siap! Laksanakan, Tuan muda...” untaian kata meluncur mentah-mentah dari labiumnya. Merajut tungkai menuju sang Adam dengan malas yang terus mendera. Ayudisa mengambil sepotong kain milik anak sulung di sana.

Belum sampai betis kecil melalui perbatasan ruang kamar dan luarnya, ia berhenti kembali tatkala mendengar ucapan dari pemuda nol dua. Daksanya berbalik arah tuk mendengarkannya dengan saksama.

“Bajunya dicuci manual aja. Soalnya kainnya masih bagus.”

“Dipakein softener ya... biar harum juga.”

“Nanti tolong buatin kopi buat kakak juga, ya? Gulanya dikit aja, kopi hitam,” pinta bahuraksa.

“Oh, ya... tolong siapin sepatu kakak buat ke Bandung, dong. Soalnya mau ngurus kafe di sana.”

“Terus sepatunya—”

“STOOOOP!” Ayudisa menukas tukas. Sumbu amarahnya tersulut berang akan dawai abjad tanpa watas. 

Dadanya bergemuruh rusuh. Naik-turun ekspirasi yang Ayudisa embuskan hingga berpeluh. Rupanya nona manis ini kesal mendengar runtutan dawai pigura yang terus memburu. Siapa yang tidak gerah mendengarkan ucapannya bak burung beo?

“Kak, aku itu lagi ngepel, terus kakak nyuruh aku banyak hal dalam satu sekaligus. Emangnya aku bisa? Mungkin bisa—tapi, kak... apa semuanya harus tugas wanita?”

Melanjutkan, “Aku tau kakak mau ke Bandung setelah ini, tapi daritadi kakak nggak ngapa-ngapain. Main hape melulu, entah lagi sibuk atau enggak. Tapi aku mohon... selagi kakak masih ada waktu luang, kakak bisa siap-siap mandiri. Udah besar juga...”

Dengan sisa hela titik kehidupan sebesar karantala, Ayudisa menatap Tama dengan sukar menyukar. Ia pun jua jengah akan tuan yang tak berlaku apa-apa.

Ayudisa, ‘kan, sedang melaksanakan perintah dari Kanjeng Ratu, namun diinterupsi oleh bahana berat dari insan yang satu itu. Apalagi rentetan kata laksana mesin kereta yang menderu-deru.


Ulasan senyum terpatri di bibirnya. Ranum merah muda dengan keriput yang tersemat serta merta, menghampiri kedua generasi yang beradu klausa. Wanita sahaja dengan surai sebahu yang mulai berubah warna, mengambil alih kemeja putih di genggaman Ayudisa.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang