13. Lentera Malam

349 89 46
                                    

maaf, ya... jika diksi
-diksinya hanya sedikit
sebab hendak masuk
ke konflik mereka ...

saat membaca, play lagu
yang menurut kalian bagus
ex: lagu kak Nadin Amizah

saat membaca, play lagu yang menurut kalian bagusex: lagu kak Nadin Amizah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Engsel sebidang datar coklat yang mengkilap itu telah terbuka. Celahnya kecil terbelah oleh jenjang tungkai miliknya. Menghela lelah usai meletakkan sepasang alas kaki hitam usangnya.

“Ibun, Dika pulang...” suaranya menyeruak pada heningnya bangunan itu. Tak ada kata-kata yang menyahut barang satu.

   

Lelaki itu terduduk pada sofa yang sudah tak lagi empuk. Per bantalan tersebut sudah rusak pun jua koyak. Handika menyandarkan daksa ringkih pada sandaran sofa.

   

Sepi, yang didapat hari ini. Sudah biasa bagi seorang Handika Panggih. Seakan menjadi hal lumrah yang tak usah dipertanyakan kembali.

   

Sang Taruna usai berganti pakaian yang lebih santai, kini ia beralih pergi. Menuju dapur yang tak selesa dan terlihat sahaja, Dika hendak mencuci seragam putih abu-abunya. Sebab pekat rudira di daerah kancingnya, menembus hingga ke pakaian putih milik taruna.

Sambil mendesis tertahan pada lengkung setengah lingkaran, ia terbatuk-batuk pada garbanya. Handika berdiri dari posisi terduduk, lekas menyimpang jalur pada wastafel pencuci piring sambil menunduk.

Darah merah.

Sang Bahuwarna dengan segala ceriteranya, terbatuk terus menerus tanpa jeda. Perut dan tenggorokannya terasa sakit semua jika terus berupaya. Dika sampai tidak bisa menahan nyeri dengan kata-katanya.

“Sssh... sial banget,” gerutunya, seraya mengusap dan membersihkan bekas di bibir dan wastafel.

Lelaki tampan dengan surai pegamnya itu tidak lagi mencuci. Daksa jangkungnya sudah tak kuat lagi untuk berdiri, maka ia memilih untuk bersilih pergi.

“Dasar, anak biadab! Baru sekarang sialan kaya kamu ini pulang ke rumah?! Lali karo alamat e?!”

(Lupa sama alamatnya?!)

Belum sempat tubuh tingginya itu masuk sepenuhnya, memutar derajat haluan ke arah belakang Handika. Ia menahan mati-matian sakit yang dideritanya demi sang Ayah tercinta.

“Ng-nggak, Yah. Tadi Dika—”

Halah! Kakehan cangkem!” Tua bangka itu menghampiri sang Anak berdentum-dentum. Dengan keadaannya yang setengah sadar dan tidaknya, menampar pipi langsat milik Handika.

(Halah! Kebanyakan bicara!)

Goro-gorone kon, aku kudu nahan ben gak ngombe ciu! Ngerti, kon?!” 

(Gara-gara kamu, aku harus tahan biar nggak minum miras. Ngerti, kamu?!)

Sak iki tukokno kunu! Cepet!” lanjutnya tanpa hati.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang