27. Luruh Jarah Cakrabuana

189 54 13
                                    

Part ini agak deg-deg an...
Hati-hati dalam membaca.

Hati-hati dalam membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Astaga...”

Sena langsung menenggelamkan lelah durjanya dalam lipatan hasta. Ia sedikit mengembus perlahan recakanya dengan pikiran acakadut. Tidak biasanya ia merasakan hal ini pada saat-saat terpenting dengan rasa kalut. Ada sesuatu yang bisa memporak-porandakan isi pikirannya sekarang.

Pada luasnya mahligai sejuk berponten dua puluh lima derajat, para murid semua dari kelas IPA hingga IPS pun sedang melaksanakan ujian dengan serentak. Ya, bisa disebut dengan ujian kelulusan.

Ujian kali ini berada dalam suatu kubikel penuh aparatus elektronik berupa komputer, dan perangkat empunya telah menyala di dalam ruangan. SMA Angkasa Raya tengah mengadakan ujian dengan menggunakan sistem CBT, atau Computer Based Test yang pelaksanaannya tentu menggunakan media elektronik berupa komputer. 

Pengerjaan soal dilakukan secara terkomputerisasi, setakat sarwa raga-raga manusia berasmakan pemuda pemudi murid sekolah, dapat mengerjakan dan mendapat soal yang berbeda. Tidak urut dan selalu teracak.

Dengan adanya sistem CBT, para siswa maupun siswi mendapat kemudahan dalam pengerjaan dan mempersingkat waktu yang ada. Selain itu, ujian dengan sistem ini pun lebih praktis, mudah, efisien, dan tentunya membuat para peserta ujian menjadi lebih fokus dalam pengerjaannya.

Surai-surai arangnya kini berjatuhan ke arah depan, mengenai epidermis tipisnya yang melikat di lengannya itu. Sedangkan mustakanya masih menyelam lebih dalam pada lipatan dua hasta. 

Psst! Psst! Sen-Sena!”

Jejaka tampan paripurna sekaligus primadona di pelataran Angkasa Raya tersebut mengangkat jemala. Mencari bertengak-tengok sumber suara yang memanggil asma indah yang diberikan oleh kedua tetua.

“Lo kenapa? Sakit?” tanya Yeremia dengan bisik-bisik. Keberadaan kawannya yang sering menjabati posisi sebagai sekretaris kelas itupun tidak jauh dari tempat Sena berada. 

Nawangga Sena, si anak afsun penuh sirep atas wicara pigura, tentu menggeleng pelan. “Kalau lo sakit, izin aja ke UKS,” tutur pemuda tampan dengan netra sipitnya. Namun lagi-lagi Sena kukuh menggeleng ke belakang—di mana tempat Yeremia Damar atau Yedam itu berada. 

Kemudian mustakanya kembali pada arah semula, menatap kosong soal-soal ujiannya yang bahkan sudah selesai ia garap dengan gerak tangkas. Soal-soal yang membuat siwa-siswi mengerang kesal dan berkata, “Anjir, sulit banget soalnya!” kata Yedam seperkian detik usai Sena memenuhi semua jawaban.

Taruna dengan seragam putih kelabu yang terpasang rapi melekat pada daksa agamnya, serta lengkapnya semua atribut yang dikenakan sang lelaki, tengah bercakap-cakap dalam intuisinya.

“Aku harus bagaimana...” resahnya hingga keningnya mengerut samar seraya mengacak-acak surai tebalnya.

Waktu itu, pekat kelabu dirgantara setia menghiasi dengan payoda mengawang dan melambaikan salam oleh sang pawana. Naungan aram temaram dijadikan sebagai figur pelengkap ceritera mereka diusung penuh rasa hampa. Salah satu dari mereka ada yang memandang demikian, berbeda pula dengan sang lawan wicara. Berhenti di hadapan bangunan besar bertingkat modern, lelaki itu melangkah pelan seraya mengetik sesuatu di gawai baloknya.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang