01. Pada Sepetak Kubikel

2.3K 245 27
                                    

Sanggah katanya waktu itu terjebak dalam memori

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sanggah katanya waktu itu terjebak dalam memori. Fragmen ingatan jua membekas dalam diri. Bahkan lautan rasa pun mengombang-ambingkan perasaan si Adi.

Pemuda tampan ini sedang menikmati embusan anila pada sepetak kamarnya. Merasakan sayup silir yang merasuk atma jangkungnya. Sempat menurunkan kedua bahu seusai menghela.

Perkenalkan semesta, lelaki yang penuh karsa, Nawangga Senapati Gandi tertoreh dalam daksanya. Pemuda bersurai hitam tinta dengan prakata singkatnya, namun penuh akan sejuta makna. 

Nawangga diharapkan menjadi lelaki bijaksana dalam segala halnya. Pula dengan Senapati yang diberi cakap cemerlang laiknya sosok panglima. Pun Gandhi, busur panah dari seorang Pangeran Arjuna. 

“Sena, ayo turun... Sudah waktunya makan malam,” sebuah klausa penuh merangsek pada rungunya. Itu suara Ibunda Sena...

Lelaki itu menoleh ke belakang, pun menjawab lugas dalam ruang, “Iya, Bun!” kemudian hastanya lekas menuju pada sebidang datar tembus pandang, menutup perlahan agar sang Bayu tidak lagi bertandang.

Betisnya dirajut pada petak-petak ubin. Rasa dingin jua menjalar pada telapak kaki. Dengan pakaian rumah ala kadarnya, ia lekas menuju ke ruang makan di bawah sana.

“Malam Ayah, malam Bunda,” sapa sang Lelaki ketika hendak terduduk pada kursi yang terbalut bantalan empuk. 

Wanita dengan keriput sahajanya melukis kurva, pula dengan suaminya yang juga menatap anak tunggalnya. 

“Selamat malam juga anak kesayangan bunda...” untai larik menguar ke langit-langit. Menatap penuh sayang anak lelakinya berhidung sempit.

Lantas, tiga raga manusia menikmati sepiring makan malam dengan khidmat. Dentang-denting peralatan makan beradu pacu pada piring kaca. Tak lupa aroma-aroma nikmat yang bisa melemahkan hasrat untuk mengisi tenaga. 

“Sena, tutup dulu ponselmu,” ayat kata diucapkan oleh sang Ayah. Yang mana lelaki berwibawa menatap tajam anak lelakinya.

Pemuda tersebut sempat terhenyak, lanjar menonaktifkan ponselnya sejenak. Ia lupa bahwa jika dalam tradisi seperti ini, tidak boleh disambi-sambi. “Maaf, Ayah...” ujarnya pelan sambil menunduk.

Sebetulnya lelaki yang memiliki asma Senapati ini sedang membuka sosial media. Ia melihat sekilas linimasa beranda miliknya. Tapi ketika dia hampir mengetuk sebuah profil gambar, ia dikejutkan oleh suara baritone yang menguar.

Ya sudahlah, nanti saja lihatnya, begitu pikir Sena.

“Terima kasih makan malamnya, bunda...” ia mengecup pipi sang Ibu setelah menikmati hidangan. Menyampaikan rasa terima kasih pada wanita kesayangan. 

Selepas itu daksanya beralih pergi menuju sepetak kubikel. Ruangan ini lebih raksi daripada bunga melati. Aroma maskulin jua menambah kesan lelaki. Pun nuansa biru muda dan putihnya menghiasi kamar Senapati. 

Bahana dari balok perseginya sedang berdenting, menandakan ada notifikasi yang menginterupsi dalam hening.


|Knock knock...
|Sena, permisi...
|Katanya kamu sedang
bawa bukuku, ya?

    Senyum terukir dari bibirnya, mendengus pelan ketika membaca pesan selanjutnya.

Iya|

|Besok tolong bawain ya!
|Kemarin aku kan nggak
masuk sekolah pas
pembagian buku baru

Besok akan kubawakan|

|Makasih...

Iya Ayudisa...|
Sama-sama ☺|






Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang