Ada kalanya masa ini, terhitung jumlah yang tak pernah mendekati masa akhirnya. Seumpama bertandang kembali, mungkin banyak insani enggan mendekati maupun merengkuh sebuah 'kalabendu'. Mencemooh, membentengi daksanya dengan sebuah baja yang kuat, atau dengan benteng pertahanan yang pada akhirnya menjadi tameng sesaat yang tak mengenal arti kata amerta. Pula diruntuhkan oleh sebuah asa buram yang lagi-lagi menjeremba hampir semua orang di dunia.
Katakanlah Wulan egois. Ia tak ingin tahu menahu tentang segala yang telah terjadi. Wanita belia itu pun mengurung dirinya di dalam petak kamar yang terasa mencekam daksanya. Digeluti oleh sebuah perasaan bersalah, sakit hati, dan menggenggam luka patah yang terdengar bagai talu genderang. Batinnya tertekan. Bahkan rasa sakit yang ia alami, lebih dari masa kuretase pengambilan janinnya beberapa waktu lalu.
Sakit yang dirasakannya, pun tak sebanding dengan perutnya yang disayati oleh beberapa benda tajam untuk mengeluarkan satu kehidupan yang telah tiada, dengan bentuk segumpal darah. Kecil, hanya segenggam tangan saja, pun dengan bentuk yang masih belum jelas sempurna. Kendati demikian, ibu muda yang terlihat putus asa dan kehilangan arah, semakin menangis di antara pulau kapuk yang mengelilingi puan-nya yang sedang bersedih hati. Wulan lebih baik kehilangan jejak Sena daripada kehilangan seberkas cahaya penolong yang mampu membuatnya merasa mendapat 'teman berjuang' di masa sulitnya itu.
Sesenggukan penuh ilu pilu kecewa itu telah terjadi semenjak kepulangan sang puan dari wisma lara yang mengayominya. Ibu dan ayahnya saat baru saja datang terlambat karena mengurus sesuatu sejenak, langsung bertutur kata yang tak sepantasnya terlampir dari bibir kedua orang tua. Mengata-ngatakan dengan kalimat yang mampu menyayat hati serta melukai relung batin Wulan lebih dalam.
Menyakitkan.
Sungguh membekas di hatinya.
"Jadi, selama mama sama papa ke luar negeri ngurus pekerjaan, kamu main-main nggak jelas sampai kebablasan hamil begini?!" bentak Papanya. Wajahnya memerah padam di hadapan Wulan yang tersandar lemah di atas brankar rumah sakit.
Sedangkan sang lawan wicara hanya bungkam, mengunci ranumnya dan enggan berkata. Netranya termenung dengan tatapan kosong dan hampir redup tanpa ada cahaya yang akan murup.
"Papa sama Mama nggak pernah ya ngajarin kamu untuk berbuat tercela seperti ini! Kamu dididik untuk menjadi anak yang menuruti apa kata orang tua, bukannya menjadi pembangkang seperti ini!" gertak sang pemilik bahu agam yang naik-turun pundaknya. Embusan napasnya tidak teratur. Mukanya merah menahan amarah yang berkoar-koar bagai jago merah. Beliau merasa sangat murka.
"Dengan kamu yang hamil di luar nikah, apa kata orang nanti saat melihat keluarga kita ternyata sebusuk ini?!" Suara beliau mengawang di udara. Menatap mereka bergantian dengan napas memburu.
Ruangan yang semulanya penuh sayu dan tiada semangat hidup, semakin memanas dengan awujudnya intonasi tinggi dari sang tuan dengan semat duaja paling tinggi di antara ketiga insan di dalam sana. Jefan dan sang mama hanya terduduk di atas bangku dekat nona bulan, sedangkan wanita elok dengan parasnya penuh afsun, diam-diam menahan rasa kecewa bercampur telaga yang mulai meluncur dari ekor mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] ii. Sebait Klausa | Sunghoon
Fanfiction❝ sumbu langit seperti kisah kita, tak akan habis pun jua rencana. reluk dua lakon asmaradahana, yang terhentak rasa kapuranta, bak pinarnya hilang seisi butala. ❞ ✧ ft. 박성훈 ENHYPEN ⊹ ☽ and millenials ⚠️16+ [...