32. Tandasan Prakata

175 53 62
                                    

Langkahnya berdentum-dentum menginvasi ruangan dengan perasaan heran, sekaligus ingin menyapa kedatangan dua sejoli bertandangkan amarah bergejolak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkahnya berdentum-dentum menginvasi ruangan dengan perasaan heran, sekaligus ingin menyapa kedatangan dua sejoli bertandangkan amarah bergejolak. Namun sarwa, ia limpungkan untuk sejeda, membiarkan kalang kabut Senapati yang berbicara.

"Sena? Datang sama siapa?"

Lelaki pemilik rahang tegas dengan proporsi tubuh jangkung itu pun menoleh kontan. Matanya membola sempurna melihat gadisnya tiba-tiba bertandang tanpa aba-aba. Tegukan saliva melapisi keringnya kerongkongan, tak lupa jua perihal ikatan bergala taut--hasta Wulan terkalung nirmala pada lengan kekar Nawangga.

"D-Disa?" gagapnya sembari memutar daksa seratus delapan puluh derajat. Ia berusaha menormalkan garis kanvas rupa, namun tentu saja Sena sudah tertangkap basah. Akan menjawab kebohongan, jelas Ayudisa lebih paham sebab perempuan adalah manusia peka keadaan.

Bibirnya bergetar, usai membasahi labianya yang mengering itu sejenak. Lantas ia merangkai klausa penuh pertanyaan diperuntukkan kepada wanodya ayu di hadapannya. Tak lupa kepada linting hasta rengkuh Hanggini pada lengan Sena. "K-kamu ngapain di sini?" tanyanya tergugu.

"Seharusnya aku yang tanya ke kamu! Ngapain kamu ada di sini?" pungkasnya telak. Nayanika hitam arang beningnya sedikit menukik tajam.

Netra oniks memandang dua insani di hadapan Ayudisa. Sanubarinya terasa panas membakar dada. Kepulan uap mungkin saja akan membakar habis ladang perasaan sang dara setakat jerubu gelita menyerbu permukaan atasnya. Sedangkan Jenan, mengerutkan kening tengak akan ricuh-awut dari sepasang tunangan yang sedang bergelut prahara.

Di balik gelagapan pria muda tersebut, Wulan tersenyum miring dan menaikkan dagunya pongah. Carut-marut sudah kesayangan satu-satunya di Keluarga Gandhi. Rapal katanya dengan segera lenyap dari ruang data di otaknya. Benar-benar nge-bug untuk sesaat dikabarkan acapkali pigura tergerak kaku di sana.

Kini mereka masih berhadapan satu sama lain. Diiringi cakap tanpa suara, berputar dalam sirah dengan banyaknya tika purbasangka yang kerapkali menyerdak debu. Suasana 'Cafe Bandung' milik Tama yang telah terkenal di Praja Kembang, masih terlihat sepi dengan segelintir orang yang hanya terlihat mereka berempat dan sisanya adalah pegawai tetap, bekerja pada si wirausaha sukses si sulung Adipati.

"A-aku--"

"Oh, lo tunangannya Sena, ya?" tanya Wulan sengak.

Ucapan pemuda tadi langsung terpotong oleh sebias suara lembut sarkas dipaparkan secara lengkap terhadap autentisitas. Membuat Sena semakin panas dingin tersudut oleh atmosfer menegangkan. Betisnya maju beberapa langkah hingga tepat di hadapan Ayudisa, melanjutkan prakata hingga menguar pada tawang kubikel boga pangan, sembari menjulurkan hastanya sebagaimana hendak berkenalan. "Kenalin gue--"

"Saya sudah tau. Kak Wulan 'kan? Adiknya Pak Jefantara?" ucapannya diputus sepihak oleh lawan bicara. Hasta lentik yang bergantung di udara,  tidak ia sambut ramah-tamah. Ayudisa memasang topeng kanvas rupa datar, berusaha terlihat tenang dan tidak mencak-mencak oleh tingkah laku nona bulan.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang